“Tapi kemana mayatnya? Kalau mayatnya tak ada, siapa yang telah menguburkan mayat-mayat ini? Apakah dia tak mati, kemudian dialah yang menguburkan semua jenazah ini? Tak mungkin. Anak muda itu tak mungkin mau berbuat kebajikan apapun untuk negeri ini. Sebab ayahnya saja dia khianati. Bukankah sasaran rahasia itu ayahnya yang memimpin? Dan bukankah dia pula yang menjual rahasia itu pada Jepang hingga semua mereka tertangkap dan terbunuh? Tak mungkin dia yang menguburkan jenazah itu.”
"Barangkali bangkainya memang tak dikuburkan oleh orang. Sebab orang yang menguburkan ini mungkin tahu bahwa dia seorang jahanam. Dan jenazahnya tetap ditinggalkan, lalu akhimya habis dimakan anjing atau harimau yang datang dari gunung sana . . " seorang lelaki bicara.
Dan pendapat inilah yang paling banyak mempercayainya. Dan bagi orang kampung, anak muda itu memang lebih baik mati diterkan harimau daripada hidup membuat malu negeri. Anak muda itu dianggap sudah terkubur di perut binatang. Tak peduli anjing, harimau atau biawak. Dia lenyap seperti ditelan bumi dan tak seorangpun mencoba mengingatnya, kecuali tentang yang buruk-buruk. Kehidupan kampung di pinggang gunung Sago yang terletak jauh dari kota Payakumbuh itu kembali seperti biasa.
Serdadu Jepang tak pernah lagi datang ke sana. Namun itu bukan berarti bahwa serdadu Jepang telah menghentikan kekejamannya di Minangkabau. Tidak! Kekejaman orang-orang bermata sipit dan bertubuh tambun dan pendek ini hampir merata dirasakan oleh penduduk di kota maupun pedesaan di pinggir kota yang ditempati oleh tentara Jepang. Situjuh Ladang Laweh mereka lupakan karena pejuang-pejuangnya telah mati. Datuk Maruhun, kabarnya, mati di Logas. Begitu juga teman-temannya.
Namun di belantara Gunung Sago, anak muda yang mereka sangka telah mampus dan mayatnya dikunyah anjing atau biawak atau harimau itu, yang mereka sangka tak mungkin mau berbuat baik meski sebesar zarahpun, saat itu tengah duduk bersila. Dia duduk bersila di atas sebuah batu layah di pinggang gunung yang tak pernah dijejak kaki manusia. Dari sana dia dapat melihat ke bawah, ke kampungnya. Dia melihat kerlip lampu seperti seribu kunang-kunang yang sedang bermain. Rindunya membakar hati. Namun kalau dia pulang, siapa yang akan dia temui di sana? Tak seorangpun.
Ketiga keluarganya telah mati. Memang ada seseorang yang sangat ingin dia temui. Namun dia yakin orang itu takkan bersedia dia temui. Renobulan. Masih hidupkah dia? Dia yakin anak Datuk Maruhun itu masih hidup. Sebab dia gadis yang cantik. Dan perempuan-perempuan cantik biasanya punya umur panjang. Kecuali kakak perempuannya yang diperkosa dan melawan, dan dibunuh oleh Saburo Matsuyama.
Saburo! Tiba-tiba dia tertegun. Dendamnya menyala. Dia kembali menatap ke kerlip lampu di bawah sana. Ada beberapa kampung yang nampaknya berdekatan dari kaki gunung ini. Padahal jika ditempuh jaraknya cukup berjauhan. Dia hafal kampung-kampung di lembah sana. Sebab dahulu dia telah mendatangi semua kampung itu. Di kampung-kampung itu telah mengadu nasib. Berjudi. Dan semua penduduk kampung-kampung itu mengenalnya sebagai hantu judi. Tak ada yang tak mengenalnya. Karena dia lebih sering menang dalam perjudian daripada kalah.
Dan bila dia menang, dia selalu memberi anak-anak uang belanja. Anak-anak menyukainya. Hanya orang tua mereka yang tak menyukai dia. Dia tersenyum bila mengingat kemenangannya dalam berjudi. Tiba-tiba dia rasakan angin bertiup agak kencang. Dan dia memang tengah menanti angin yang bertiup itu. Tiap senja dia nantikan angin itu di atas batu layah ini. Sudah berbilang bulan dia begini. Dan berbilang bulan dia melatih diri.
Dia memejamkan mata. Tangannya melemas. Lemas selemas lemasnya. Tes. , tes . . tes . .! Dia dengar detisan halus di atas. Dia hitung. Ada sebelas. Suara itu adalah suara daun kayu yang telah tua, yang habis getah ditampuknya. Bila angin bertiup sore hari, daun-daun tua itu lepas dari ranting, melayang dan jatuh. Berarti ada sebelas daun kering yang jatuh di sekitar dirinya.
Tiba-tiba tangannya yang lemas tadi bergerak ke balik kain sarung yang tersandang di bahunya. Dan saat berikutnya terlihat sebuah kilatan yang terlalu cepat untuk diikuti oleh pandangan mata. Tak sampai empat hitungan. Benda berkilat itu, yang tak lain dari samurai yang telah menyudahi nyawa ketiga keluarganya itu, dia sarungkan kembali. Dan dengan perasaannya yang sudah amat terlatih, dia mengetahui bahwa dari sebelas daun kayu yang jatuh di sekitarnya, ada tiga lembar yang luput dari sabetan samurainya. Yang delapan lembar lagi belah dua persis tentang tulang di tengah daun-daun itu!
Dia menarik nafas panjang. Kemudian duduk lagi bersemedi. Duduk mengatur pernafasan. Dia tak punya guru. Gurunya adalah Alam Takambang. Dia tak mengerti ilmu silat. Sampai detik inipun dia tak mengetahui selangkahpun tentang persilatan. Namun hatinya telah jadi baja untuk membalas dendam kematian ayah, ibu dan kakaknya. Dia juga akan menuntut balas atas kematian orang kampungnya. Atas perbuatan Jepang membakar kampungnya. Memperkosa kakaknya dan perempuan-perempuan lain. Dan atas perlakuan Jepang yang telah membunuh kanak-kanak di kampungnya dulu. Dia akan menuntut balas pada Jepang dengan mempergunakan senjata mereka sendiri, Samurai!
Sudah berbilang bulan dia berada di gunung ini. Dan selama itu pula dia melatih diri. Yang terbayang olehnya adalah gerakan ayahnya ketika mengayun, dan menikamkan samurai ke belakang. Yang menyebabkan matinya dua orang serdadu Jepang sekaligus dalam perkelahian di halaman rumahnya dulu. Gerakan itu dia ulangi terus. Terus dan terus. Sementara gerakan bagaimana mencabut samurai dia pelajari dari perkelahian antara teman-teman Datuk Maruhun di sasaran rahasia itu dengan tentara Jepang tersebut.
Dia mengingat gerakan Jepang itu mencabut kemudian mengayun samurai. Kemudian memasukkannya kembali samurai telanjang dan berlumur darah itu ke sarungnya. Gerakan yang amat cepat untuk bisa ditiru. Namun dia mengeraskan hati untuk belajar. Mula-mula gerakan itu hanya dia lakukan beberapa kali sehari. Kemudian beberapa belas kali. Kemudian beberapa puluh kali. Kemudian beberapa ratus kali.
Tiap hari kerjanya hanya mencabut samurai. Kemudian memasukkannya kembali. Lalu ketika gerakan itu dia rasa sudah mahir, dia menirukan gerakan menghayunkan samurai membabat lawan yang ada di depan dengan gerakan amat cepat. Kemudian meniru gerakan ayahnya. Setelah membabat lawan di depan, tanpa menukar pegangan kedua tangan di gagang samurai, senjata itu dihentakkan meninggi ke belakang. Gerakan ini semula terasa sulit dan kaku. Namun dia harus belajar. Harus! Yang menyulitkannya adalah karena dia tak mengetahui gerak dasar samurai itu. Tak pula mengetahui kuda-kuda yang harus dipakai. Itulah sebabnya dia lambat sekali menjadi mahir.
Dan kinipun, setelah dia mahir dalam gerakan itu, kuda-kudanya tetap tak betul menurut methode ilmu samurai. Kuda-kuda dan langkah kakinya dia buat menurut kehendak seleranya saja. Bagaimana yang dia rasa paling baik untuk menyerang dan menangkis, serta merubuhkan lawan segera. Dia tetap berlatih hari demi hari. Siang hari dia berburu kijang di gunung itu. Caranya mudah sekali. Selama hidup hampir setahun di rimba raya itu, dia sudah hafal di mana kijang-kijang itu minum siang hari. Dia juga tahu dari mana harus mendekati binatang itu. Dia harus tegak di bawah angin. Agar bau tubuhnya tak tercium oleh hewan itu.
Pagi-pagi dia sudah duluan ke dekat kolam kecil itu. Tiarap di dalam semak rendah. Diam di sana seperti pohon mati. Tapi suatu hari dia mendapat cobaan. Yang datang minum ke sana bukannya kijang tetapi macan tutul. Hewan ini datang justru dari atas pohon di mana si Bungsu sedang tiarap di bawahnya. Macan itu segera mengetahui kehadirannya. Dia menerkam si Bungsu. Namun bagi si Bungsu kecepatan macan ini tak ada artinya dibanding kecepatan yang telah dia miliki dalam mencabut dan mempergunakan samurai.
Dia malah tetap berbaring diam ketika macan itu meloncatinya. Ketika tinggal sedepa lagi, saat itulah tangannya bergerak. Dua kali dia menghayun tangan, saat berikutnya samurainya masuk kembali ke sarangnya bersamaan dengan rubuh dan terpotong duanya tubuh macan tutul itu. Padahal dia masih setengah berbaring. Lagipula, itulah pertama kali dia mempergunakan samurai rampasannya terhadap mahluk bernyawa.
Siang itu dia tak makan daging kijang. Melainkan makan daging macan tutul. Daging macan itu dia bakar. Api dia bikin dengan mengadu dua buah batu kuat-kuat. Namun kecepatan menghantam macan yang datang menerkam belumlah dapat dijadikan ukuran. Terkaman macan yang bertubuh besar itu tetap saja lambat bila dibandingkan misalnya dengan terbangnya lalat.
Inilah yang dia pelajari setelah itu. Sisa bangkai macan mengundang banyak lalat ke dekat-nya. Dia memejamkan mata. Memusatkan konsentrasi. Ada perbedaan mencolok antara ayahnya belajar silat dengan dirinya belajar kini. Ayahnya dulu belajar silat sekedar untuk penjaga diri. Kemudian keadaan membuat dia menjadi Guru Silat. Kadar kesungguhan kurang tinggi. Berlain dengan dirinya kini. Dia belajar karena dia bertekad untuk membalas dendam.
Dan keinginannya untuk cepat pandai amat menyala. ltulah sebabnya dalam kerajinan berlatih, ayahnya dulu pasti kalah tekun dari yang dia lakukan kini. Dia memejamkan mata. Lalat mulai berkerubung pada sisa bangkai macan tutul itu. Dia mendengar dengung langau hijau. Kemudian dia mulai menghitung. Terlalu banyak. Dia mendengar getar sayapnya ketika terbang. Tangannya mulai dia lemaskan. Lemas seperti sutera. Seperti tak ada tulang di dalam lengannya itu. Kemudian dia memusatkan pendengaran.
Kini!
Tiba-tiba tangannya bergerak cepat. Empat kali dia membabat, lalu tiba-tiba samurai itu lenyap kembali ke dalam sarangnya di balik kain sarung yang tersandang dipundaknya. Tanpa membuka mata dia dapat mengetahui, bahwa dalam empat kali membabat tadi, hanya ada dua ekor langau hijau yang mati. Ada yang perutnya putus. Ada yang kepalanya sompeng sedikit. Padahal seorang samurai harus tahu dengan pasti bahagian mana yang dia kehendaki untuk dilukai. Dan bahagian yang dia kehendaki itu haruslah mampu dia lakukan. Dia menghapus peluh. Kemudian duduk lagi. Mengulangi lagi latihan dari awal. Mencabut dan membabat langau-langau itu. Begitu terus hari demi hari. Begitu terus hari berganti pekan. Pekan berganti bulan. Bulan berganti tahun!
Senja ini dia kembali duduk di atas batu pipih itu. Menatap ke lembah sana, ke kaki gunung di mana sawah menghampar. Di mana kerlip lampu dari kampung-kampung mulai kelihatan. Dia duduk menatap ke arah kampungnya. Rindu kembali bertalu-talu gemuruh di dadanya untuk turun ke sana. Sudah berbilang purnama dia berada di pinggang Gunung Sago ini. Tidur di pondok beratap lalang yang dia buat secara darurat. Yang membuatnya untuk sembuh dari luka yang nyaris membelah punggungnya dan tetap hidup adalah keinginannya yang keras untuk membalas dendam.
Kini dia merasa ingin segera kembali ke kampungnya. Dia menarik nafas panjang. Namun telinganya yang sudah sangat terlatih di rimba raya itu juga menangkap dengus nafas lain. Dia tertegun. Apakah dengus sebentar ini adalah dengus nafasnya sendiri yang terdengar sampai dua kali? Dia tak berani menoleh. Namun nalurinya mengatakan bahwa ada bahaya mengancam dirinya dari belakang. Tapi bahaya apakah itu. Kenapa dia tak mengetahuinya?
Sudah belasan purnama dia duduk di sini. Setiap ada yang bergerak mendekati tempatnya ini, bahkan kupu-kupu yang terbang ringanpun, akan segera dia ketahui. Semua itu berkat latihan konsentrasinya selama ini. Secara instink tubuhnya juga bersiap untuk menerima setiap kemungkinan yang tak diingini. Aneh, tak ada suara apa-apa. Padahal biasanya senja begini, setiap dia habis sembahyang Magrib dia selalu dihibur oleh dendang jangkrik dan suara nyanyian binatang malam lainnya. Termasuk suara siamang yang bersahutan.
Tapi kini kenapa suara-suara itu lenyap? Sejak bila lenyapnya? Kesunyian ini adalah kesunyian yang belum pernah dia alami selama ini. Dan tiba-tiba kembali dengusan nafas aneh itu dia dengar. Dia yakin dengusan halus dan amat perlahan itu bukanlah dengusan dari mulutnya. Tidak. Dengusan itu jelas dari belakangnya. Menurut perkiraannya, jarak antara dirinya yang duduk membelakang dengan mahluk yang mendengus itu paling-paling hanya tiga depa!
Tiga depa! Ya Tuhan, bulu tengkuknya merinding habis. Kalau benar dugaannya, bahwa yang mendengus itu berada sekitar tiga depa di belakangnya, itu berarti ”tamunya” itu telah berada di atas batu pipih besar di mana dia duduk, yang lebarnya sekitar empat depa persegi. Dia duduk di bahagian ujung paling depan. Yang membuat dia kaget adalah kehadiran mahluk yang belum dia kenal itu di atas batu ini. Kenapa sampai tak terdengar olehnya sedikitpun?
Krosak...!
Tiba-tiba dia mendengar suara terpijaknya daun kering di bawah di sekitar batu di mana kini dia duduk. Meski amat perlahan, hampir-hampir tak terdengar oleh telinga orang biasa, namun dengan latihannya selama belasan purnama dia dapat menebak ada sekitar selusin kaki di bawah batu sana. Ketika dia lebih memusatkan pendengarannya ke atas, dia tambah kaget. Ada dua makhluk berada di belakangnya. Satu di kiri, satu di kanan! Manusiakah?
Darahnya mengencang. Tangannya melemas.
"Siapakah yang ada di belakang?" Dia bertanya tanpa menoleh.
Tatapannya lurus ke depan dengan konsentrasi penuh. Tak ada jawaban. Dia segera tahu, siapapun yang ada dibelakangnya, pastilah tak berniat baik. Tangannya makin melemas dan terasa panas. Bulu tengkuknya makin merinding. Tiba-tiba dia merasakan ada angin menyambar! Dia tak segera mencabut samurainya. Namun dia berguling ke kanan. Gerakan itu dia pelajari dari tingkah dua ekor tupai yang berkelahi di cabang pohon di dekat batu pipih ini. Dia amati perkelahian itu dengan seksama. Kemudian dia berlatih meniru cara bergulingan menyelamatkan diri itu, menyelingi latihan samurainya.
Kini jurus berguling itu dia lakukan. Dia selamat dari terpaan makhluk itu. Kemudian dia duduk berlutut. Namun sebelum dia lihat siapa yang menyerang, kembali makhluk itu menyerangnya secepat kilat. Dia kembali mempergunakan gerak tupai itu. Bergulung dua kali ke kanan dan melambung tegak. Dan kini makhluk yang menyerang itu tegak empat depa di depannya.
"Ya Allah!!"
Dia terpekik dan surut dua langkah. Hampir saja dia terperosok jatuh dari atas batu. Makhluk itu! Ya Tuhan, belum pernah dia melihat makhluk sedahsyat ini. Dalam sinar senja yang masih terang-terang tanah, dia lihat dua makhluk yang luar biasa bentuknya.
"Harimau jadi-jadian!!" dia berbisik sendiri.
Tanpa dapat dia kuasai, tangannya gemetar. Ya, di hadapannya, kini berdiri dua harimau jadi-jadian. Kepalanya mirip kepala harimau. Tubuhnya berbulu mirip harimau. Namun dia tak berdiri di keempat kakinya. Mahluk ini berdiri di atas dua kaki seperti manusia. Tangannya yang berbulu mirip tangan manusia. Demikian pula kakinya. Bulunya berbelang seperti harimau. Matanya merah berkilat. Kuku kaki dan kuku tangannya kelihatan menyembul runcing mengerikan. Makhluk ini kelihatan dahsyat di mata si Bungsu. Dia tak dapat menahan gigilan tubuhnya.
Sewaktu kecil di kampung dahulu, dia memang sering mendengar cerita tentang harimau jadi-jadian. Cindaku kata orang-orang tua. Namun sejak dia dewasa, cerita itu tak pemah lagi dia dengar. Kalaupun ada, maka cerita itu hanya dimaksudkan sebagai menakuti anak-anak. Siapa menyangka, hari ini dia menyaksikan apa yang dianggap orang kampung itu sebagai dongeng, ternyata benar-benar ada. Dongeng itu bukan sekedar isapan jempol. Senja ini dia melihatnya dengan mata kepala sendiri. Dia melirik ke kanan. Jauh di bawah sana, dia lihat kampungnya. Di kampungnya dahulu kabarnya ada orang yang mati dibunuh Cindaku. Di kampung lain juga pernah ada orang yang di teror Cindaku. Apakah ini Cindaku yang meneror orang di kampung di bawah sana?
Kalau dilihat jarak antara gunung dengan kampung di bawah, nampaknya memang inilah Cindaku itu. Tapi dia tak tahu berapa jumlah mereka. Dan dia segera ingat pada suara kaki di bawah sekitar batu tadi. Dia segera menoleh. Dan kembali dia menyebut nama Tuhan beberapa kali. Dia melangkah ke depan tiga langkah. Si Bungsu benar-benar dicoba iman dan jiwanya. Di bawah dia lihat tak kurang dari enam ekor harimau! Duduk di kaki belakang dan menegakkan kaki depannya. Keenam harimau itu mengelilingi batu pipih di mana dia berada. Dia yakin, jumlahnya pasti lebih dari enam ekor. Sebab tadi dia dengar di sekitar batu itu langkah-langkah yang halus. Inilah rupanya.
Dia kembali menoleh pada Cindaku itu. Keduanya kini mengangkat tangan. Dia tak mengerti kenapa harimau-harimau itu berada di bawah. Seperti menonton ke atas. Apakah harimau-harimau itu adalah bawahan Cindaku ini? Hatinya benar-benar terguncang. Dia tak sempat berpikir banyak. Cindaku yang paling besar menyerang dengan satu loncatan. Seharusnya dia segera mempergunakan samurainya. Namun terlambat! Kehebatan peristiwa ini membuat reflek yang telah dia latih jadi kacau. Dia hanya mampu menunduk. Dan itu menyebabkan punggungnya dirobek kuku Cindaku. Dia terpental. Di bawah sana dia dengar geraman harimau. Nampaknya harimau-harimau itu menunggu dirinya dilemparkan ke bawah.
Ketika dia terguling, Cindaku yang lebih kecil menyerang. Loncat tupai! Dia segera menggunakan ilmu loncat tupai itu kembali. Berguling tiga kali ke kanan, kemudian tiga kali ke kiri. Dua terkeman Cindaku itu berhasil dia elakkan. Kemudian meloncat berdiri! Luka di punggungnya pedih sekali. Di punggungnya. Tanpa sengaja dia meraba luka itu. Tiba-tiba dia sadar, luka itu persis di tentang luka yang ditimbulkan oleh tebasan Samurai Kapten Saburo Matsuyama dua belas purnama yang lalu. Persis melintang miring dari belikat kanan ke rusuk kiri! Ingatannya kembali ke masa lalu. Kesaat ayah dan ibunya dibabat samurai. Di saat kakaknya diperkosa dan dibabat samurai. Di saat dia juga dibabat samurai!
Wajahnya mengeras tiba-tiba. Mulutnya tertarik ke bawah. Suatu rasa marah yang tak terperikan tergambar pada wajahnya. Saat itu Cindaku yang kecil menerjangnya. Tiba-tiba dalam pandangannya Cindaku itu berobah seperti Kapten Saburo yang membunuh keluarganya. Tangannya bergerak ke Samurai di balik sarungnya. Amat cepat.
”Jahanam kubunuh kau!!” desisnya dengan sepenuh rasa benci. Dan samurainya bekerja! Dua kali tebasan ke muka. Pada tebasan pertama, dada Cindaku yang sedang melayang ke arahnya kena dia tebas. Pada tebasan berbalik yang kedua, leher Cindaku itu hampir putus. Dan anak muda ini berputar ke belakang. Tubuh Cindaku itu turut tertegak setengah depa di belakangnya. Dan saat itu dia menirukan gerak yang dipergunakan ayahnya dahulu. Menikamkan samurai di tangannya ke belakang sambil menjatuhkan diri di lutut kanan!
Crep! Plasss!!
Samurai itu menembus dada kiri jadi-jadian itu. Terdengar raungannya memecah senja. Merobek ketenangan hutan. Suara ribut hewan gunung terdengar tatkala hewan-hewan itu berlarian dari semak ke semak mencari perlindungan. Kera berlompatan dari pohon ke pohon. Raungan itu amat dahsyat. Harimau-harimau yang berada di bawah pada terlompat mundur saking kagetnya.
Si Bungsu menarik samurainya, dan snapp!! Samurai itu kembali masuk ke sarungnya dengan amat cepat. Dia tegak membelakangi tubuh Cindaku yang terkapar tak bernyawa itu. Menghadap pada Cindaku besar yang tertegun kaget di ujung batu sana. Mereka saling menatap. Wajah si Bungsu yang biasanya murung dan sinar matanya yang kuyu, kini berobah. Wajahnya jadi keras dan penuh kebencian. Matanya bersinar penuh amarah.
Dan tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Harimau-harimau yang ada di bawah sana mengaum hampir bersamaan. Mengaum dan menganga menghadapkan moncong mereka ke bulan yang kelihatan seperti sabit di langit yang tinggi. Pertanda apa pula ini? Pikir si Bungsu. Dia ingin tahu untuk apa kehadiran harimau-harimau itu. Dengan tetap tak melepaskan pandangan matanya dari Cindaku besar di depannya, dia mundur tiga langkah.
Lalu dia tendang bangkai Cindaku mati itu ke bawah. Terdegar suara kaki menjauh dan auman panjang. Lalu suara berkrosak. Suara saling rebut. Cindaku besar yang masih hidup di depannya mendengus dan menggeram. Nyata sekali dia jadi murka. Lalu tiba-tiba dia menyerang dengan loncatan panjang ke arah si Bungsu. Si Bungsu kembali menyentak Samurai dan menghayunkan dalam empat kali tebasan. Namun dengan terkejut dia melihat Cindaku itu melambung dan kembali tegak di tempatnya semula!
Luar biasa! Dalam terkamannya tadi dia rupanya bisa melihat kilatan samurai yang demikian cepat. Tidak hanya mampu melihat, tapi sekaligus juga mengelakkannya! Tak segorespun dia kena. Samurai itu sudah berada kembali di dalam sarungnya. Kini samurai bersarung itu dia pegang dengan tangan kiri. Mereka bertatapan. Tiba-tiba Cindaku itu menyerang lagi. Tapi kali ini menyerang dengan bergulingan di bawah. Tubuhnya bergulung seperti pohon yang digulingkan dari atas tebing.
Si Bungsu melompat ke kiri dan mencabut samurainya. Cres, cres, cres! Dari kiri dia mengirimkan tiga sabetan cepat ke tubuh Cindaku itu. Lalu samurai itu kembali masuk ke sarangnya. Namun kembali dia lihat Cindaku itu tegak tiga depa di depannya. Tak kurang satu apapun. Luar biasa. Dia yakin benar tadi, bahwa sabetannya mengenai tubuh Cindaku ini. Apakah tubuh Cindaku besar ini tak mempan oleh senjata tajam?
Bulu tengkuknya merinding. Kalau hal itu benar, maka itu berarti tamatlah riwayatnya di sini. Dia tak memiliki ilmu batin seperti pesilat-pesilat lainnya. Dia hanya mempunyai kepandaian memainkan samurai dan meloncat seperti tupai atau kera yang dia pelajari selama di gunung ini. Bukan ilmu silat. Bukan Kumango seperti yang dimiliki ayahnya. Bukan pula silat Lintau seperti yang dimiliki Datuk Maruhun, ayah Renobulan. Apakah di sini ajalnya?
Tidak! Dia tak mau mati sekarang. Alangkah akan sia-sianya dia menahan segala derita selama belasan purnama kalau hanya akan mati di sini. Dia teringat pada sumpah ayahnya sewaktu akan meninggal. Bahwa ayahnya akan menuntut balas. Bukankah itu suatu isyarat, bahwa dialah yang akan dipergunakan ayahnya untuk menuntut balas atas dendam keluarganya itu? Tangan siapa lagi yang akan dipakai ayahnya untuk membalas kekejaman Saburo dan prajuritnya kalau tidak tangannya sendiri?
Tidak. Dia tak boleh mati sekarang. Kalau dia mati sekarang, maka dendam ayahnya takkan pernah berbalas. Kematian keluarganya dan kematian orang kampungnya takkan pernah ada yang membalaskan. Kalau dia mati sekarang, maka sia-sialah segala usahanya selama ini. Tidak. Dia tak mau mati sekarang. Apalagi kematian di mulut seekor Cindaku. Seekor harimau jadi-jadian.
Tapi, sampai bila dia mampu bertahan? Sementara punggungnya luka parah. Luka itu terasa amat mengganggu. Sangat pedih. Kata orang, konon kuku dan gigi Cindaku mengandung bisa. Nah, kini punggungnya telah terluka. Berapa lamakah dia bisa bertahan?
Dia lihat Cindaku di depannya merendah. Dia tegak dengan melebarkan kaki dan membungkukkan lipatan lutut. Kemudian meletakkan samurai itu melintang di depan dadanya. Dia menanti gerakan Cindaku itu berikutnya.
Jadi-jadian itu mulai melangkah memutar ke kanan. Dia tetap dalam posisinya. Langkah Cindaku itu dia ikuti dengan sudut mata. Cindaku itu kini berada di sebelah kirinya. Berarti berada tentang ujung samurai. Dia masih tegak menanti. Wajah lurus ke depan dan sudut mata menikam ke arah Cindaku itu. Cindaku itu bergerak ke belakangnya. Dia tak memalingkan kepala. Tidak. Untuk memalingkan kepala dia harus memakai sekian detik. Dan itu merugikannya. Dia lalu memejamkan mata. Memusatkan konsentrasi dan ”melihat” melalui pendengarannya yang amat tajam.
Langkah Cindaku itu amat ringan. Di atas batu besar dimana kini mereka berada langkah mahluk itu hampir-hampir tak terdengar. Namun dia sudah belasan purnama berlatih. Dia tak khawatir, dengan memejamkan mata dia dapat mendengar dengan jelas langkah Cindaku itu. Langkah terutama jadi jelas baginya karena gesekan halus kuku Cindaku yang panjang itu dengan batu. Bagi orang biasa, gesekan itu pasti takkan terdengar. Namun bagi si Bungsu, suara gesekan itu amat jelas terdengar. Cindaku itu berhenti tepat di belakangnya. Sejajar dengan tulang punggungnya dalam jarak sedepa. Itu berarti mahluk jadi-jadian itu bisa menjangkau punggungnya dengan tangannya yang panjang.
Dia menanti, sementara suara dengus dan berebutan daging mentah di bawah sana sudah berhenti. Dia yakin harimau-harimau itu kini menatap ke atas, ke arah mereka. Si Bungsu tetap memejamkan mata. Dia mendengar nafas Cindaku itu memburu. Dia yakin kini Cindaku itu bersiap untuk meyerang. Nafasnya yang memburu itu sebagai tanda. Dan nafas memburu itu juga sebagai pertanda bahwa Cindaku itu juga menaruh rasa gentar. Ya, sama saja seperti dia yang juga merasa gentar. Nafasnya juga memburu.
Tiba-tiba dia rasakan angin bersuit. Itu pertanda Cindaku itu tengah menyerang! Samurainya bergerak. Dia berputar sangat cepat menirukan berputarnya macan kumbang. Kemudian samurainya berkelebat.
Cras! cras! cras!!
Tiga kali sabetan cepat dan kuat, kemudian dia menikamkan samurai ke belakang. Snap! Dia duduk di lutut kanan dan menekankan samurai itu ke belakang kuat-kuat. Namun jadi-jadian di belakangnya masih bergerak. Dan tiba-tiba sebuah hantaman menerpa kepalanya! Dia terpekik dan terlempar ke batu. Samurainya lepas! Kulit kepalanya di bahagian belakang terkelupas selebar telapak tangan! Buat sesaat dia nanar.
Namun di antara rasa terkejutnya yang luar biasa, dia ingat bahwa dia harus tetap hidup. Dia sadar bahwa dirinya kini dalam keadaan kritis. Loncat Tupai! Gerak itu kembali dia lakukan. Berkali-kali gerakan tupai bergelut itu telah menyelamatkan dirinya. Kini begitu tubuhnya menghantam batu, dia bergulingan tiga kali ke kanan saat Cindaku itu menerkam. Seringan tupai dia bergulingan dengan lambungan sehasta tiga kali ke kiri. Kemudian berputar. Cindaku itu menerkam ke sana. Dia bersalto ke belakang! Tegak di atas kedua kaki dengan lipatan lutut di bengkokkan.
Cindaku itu tegak pula empat depa di depannya. Dia hoyong. Luka di punggung dan di belakang kepalanya mengucurkan banyak darah. Berdenyut-denyut. Dia menatap Cindaku itu. Ternyata apa yang dia khawatirkan benar adanya. Cindaku itu tidak mempan oleh senjata tajam. Tidak mempan. Ilmu Cindaku kecil tadi rupanya belum mencapai tingkat yang sempurna. Masih banyak kadar manusianya. Itulah sebabnya dia termakan oleh senjata tajam. Tapi yang satu ini nampaknya sudah mencapai tingkatan yang tinggi. Tak lagi dimakan besi.
Kini si Bungsu tidak lagi bersenjata selain sarung samurai. Samurainya sendiri berada sedepa di depannya. Berarti senjata itu berada di antara dia dengan Cindaku itu. Dia tak berani gegabah memungut senjata yang terletak sedepa di depannya itu. Tidak, itu akan memudahkan Cindaku itu menerkamnya. Dia makin lemah. Dan rasa takut yang luar biasa menjalarinya. Dia takut mati. Tapi takut tak bisa membalaskan dendam keluarganya.
Cindaku itu mulai lagi mempersiapkan diri untuk menyerang. Si Bungsu tetap tegak di tempatnya. Ketika Cindaku itu menggeser tegak ke kiri, dia menggeser tegaknya ke kanan. Jadi mereka bergerak searah. Dia bukannya tak tahu, bahwa Cindaku itu kembali ingin menyerangnya dari sebelah kiri. Yaitu di bahagian rusuknya yang luka.
Tapi dia sendiri juga punya maksud menggeser tegaknya ke kanan. Dia ingin meletakkan samurai itu di bahagian kirinya. Dua langkah, tiga langkah, empat! Dan tiba-tiba Cindaku itu menyerang. Loncat tupai! Gerakan itu lagi-lagi menyelamatkan dirinya. Tubuhnya berguling ke kiri dengan ringan dua kali putaran, kali ketiga tangannya menyentuh hulu samurai. Gerakan keempat sambil menggenggam samurai itu tubuhnya melentik setinggi setengah depa dan hep! Dia tertegak di pinggir batu. Geraman harimau terdengar di bawah!
Kini dia bisa bernafas lega. Samurai itu berada lagi di tangannya. Dia tahu, bahwa senjata ini takkan mempan pada makhluk tersebut. Namun tanpa senjata. Dia merasa dirinya seperti telanjang. Meskipun tak mempan, senjata ini memberinya semacam sugesti. Dia tegak dengan diam. Melintangkan samurai itu di depan dadanya. Memusatkan konsentrasi dan pendengaran. Jauh di bawah sana, dari kampung di pinggang gunung itu dia mendengar suara tabuh.
Tabuh itu pastilah tabuh sembahyang Isa. Suaranya sayup-sayup. Tapi itu jelas suara tabuh dari suara atau masjid. Telinga yang amat tajam dapat mendengar suara tabuh itu. Suara tabuh itu jelas terdengar olehnya tiap hari setiap dia memusatkan konsentrasi di gunung Sago ini. Barangkali tabuh itu berasal dari masjid di kampung Manang Kadok atau kampung Sikabu-kabu. Yang tak terdengar sampai kemari adalah suara azan muazinnya. Mungkin karena suara manusia jauh lebih pelan daripada suara tabuh.
Azan! Ya, dia segera ingat pada azan. Bukankah ayahnya yang taat beragama itu pernah bercerita, bahwa banyak ilmu-ilmu hitam yang bisa dipunahkan dengan suara azan? Azan di subuh hari, azan di senja hari yaitu setiap subuh dan maghrib, selain bermaksud memanggil orang sembahyang, juga punya makna mengusir segala roh jahat dan pengaruh ilmu siluman yang coba mempengaruhi kehidupan manusia. Menurut ayahnya azan di subuh hari bermakna juga mengusir pengaruh setan yang menyelusup di waktu tidur lewat tengah malam. Azan di waktu Maghrib mempunyai makna mengusir roh-roh jahat untuk tak terbawa tidur.
Itu menurut cerita ayahnya sewaktu dia masih kecil. Apakah hal itu benar? Apakah azan mampu memunahkan ilmu kebal makhluk siluman ini? Dia harus mencobanya. Harus! Mustahil ayahnya bercerita sewaktu mereka kecil dulu hal-hal yang tak bermanfaat. Ayahnya bukan jenis orang yang mau menakut-nakuti anaknya dengan cerita-cerita seperti itu. Kini dia meletakkan sarung samurainya. Memegang samurai itu dengan tangan kanannya. Meletakkan telapak tangan kiri di telinga kiri. Dia memusatkan konsentrasi. Kemudian memejamkan mata. Keselamatannya kini sepenuhnya digantungkan pada pendengarannya. Begitu matanya terpejam, dia membaca Bismillah. Kemudian mulai melafaskan bait-bait azan.
”Allahuakbar-Allahuakbar”.
Suara bergema mengoyak kesunyian belantara. Dia dengar Cindaku itu tersurut selangkah.
”Allahuakbar-Allahuakbar”.
Cindaku itu melangkah ke kanan tiga langkah. Kemudian selangkah lagi.
”Ashadualaaa-ila haillallaaah!”
Cindaku itu meyerang dengan sebuah dengusan panjang. Sambil tetap melafaskan kalimah Ashadualaaa-ila haillallaaah itu sekali lagi, samurainya bergerak secepat kilat. Dua kali sabetan cepat. Dia yakin sabetan samurainya mengena.
Namun dia tetap memejamkan mata. Membaca terus lafas azan itu.
“Ashaduanna Muhammadarasulullah…!”
Tiga langkah di belakangnya Cindaku itu terdengar mendengus. Ketika dia mengulangi kalimah itu sekali lagi, Cindaku itu kembali menyerang dengan sebuah lompatan dan terkaman yang tak tanggung-tanggung. Dia berguling di lantai. Kemudian sambil mempergunakan gerak tupai bergelut, samurainya menghantam ke atas. Sret! Sret! Sret! Tiga sabetan berlainan arah. Kena!
Cindaku itu terhenti. Si Bungsu tetap tegak sambil memejamkan mata. Memusatkan konsentrasi dan membaca terus lafas azan itu. Dia seperti mendapatkan tenaga baru ketika membaca azan tersebut. Dia seperti mendapat sugesti. Ketika dia membaca kalimah ”Hayaalasholah” dia mendengar benda jatuh. Dia membuka mata. Dan Cindaku itu tengah berlutut di batu, mendekap dadanya. Dalam temeram cahaya dia lihat darah hitam kental mengalir dari sela tangan Cindaku itu.
”Allahuakbar. Maha Besar Engkau ya Allah...” dia berkata perlahan.
Tak terasa air mata merembes di pipinya. Dia selamat setelah mengingat ajaran-ajaran yang pernah diberikan ayahnya dahulu. Ya, dia berkali-kali tak mau tidur di rumah, karena kala dia tidur di rumah, subuh-subuh buta sudah dibangunkan ayahnya. Disuruh azan. Dan dipaksa sembahyang. Alangkah bencinya dia. Alangkah muaknya dia atas suruhan itu. Dia ingin bangun tengah hari. Bahkan ingin bangun sore, sebab sepanjang malam dia berjudi.
Sewaktu kecil dia memang mengerjakan suruhan itu. Tapi setelah agak dewasa, dia lebih senang tidur di rumah temannya. Kini, ternyata ajaran ayahnya itu telah menyelamatkan nyawanya. Dia menangis. Benar-benar menangis. Si Bungsu yang dahulu ketika ayah, ibu dan kakaknya mati tak tahu bagaimana caranya menangis, malam ini menangis di tengah rimba di Gunung Sago. Dia menangis karena menyesal telah membangkang perintah ayahnya. Dia menangis karena rindu pada orang tua yang keras dan angkuh itu. Sikap ayahnya adalah gambaran dirinya sendiri.
”Terima kasih Allah. Engkau selamatkan aku dengan ayat-ayatMu. Terima kasih ayah. Engkau selamatkan aku dengan ajaranmu yang pernah aku ingkari. Terima kasih. Aku yakin Tuhan akan menempatkan engkau di tempat yang bahagia....” dia berbisik di antara air matanya yang mengalir turun.
Dan tiga depa di depannya, Cindaku itu jatuh terguling. Ada keluhan panjang keluar dari mulutnya. Ada lenguhan sakit dan penderitaan yang amat sangat terdengar. Tubuhnya terlonjak-lonjak seperti ayam tak sempurna dipotong. Ajal seperti mempermainkannya. Menyakiti seluruh pembuluh darah dan setiap bulu di tubuhnya. Mungkin sebagai pembalasan atas segala laknat yang telah dia sebar semasa hidupnya.
Si Bungsu jadi hiba melihat penderitaan makhluk itu. Dia melangkah ke dekatnya. Sinar mata jadi-jadian yang tadi merah menyala, kini menatapnya minta dikasihani. Sinar mata itu seperti minta pertolongan. Lenguhnya menghiba seperti meminta agar nyawanya cepat diambil.
”Maafkan saya...” si Bungsu berkata.
Dan samurai di tangannya berkelebat. Cres! Cres! Dua kali sabetan cepat dan kuat. Membuat dada kiri jadi-jadian itu robek besar. Membuat lehernya hampir putus. Penderitaan makhluk itu benar-benar berakhir. Tiba-tiba rimba itu seperti dikoyak lagi oleh raungan harimau yang ada di bawah. Seperti raung kemenangan. Bulu tengkuk si Bungsu kembali merinding. Dia ngeri kalau-kalau harimau itu berlompatan naik. Itu bisa menyebabkan nyawanya melayang.
Dia melemparkan mayat jadi-jadian itu ke bawah. Terdengar suara berkerosak. Dan dalam waktu sekejap, semua harimau yang ada di bawah melompat dan lenyap ke palunan rimba. Masing-masing membawa serpihan bangkai makhluk jadi-jadian itu. Si Bungsu menghapus air matanya. Menghapus keringat dingin yang merengas di keningnya. Ternyata ayahnya berkata benar tentang ada ayat-ayat Al Qur’an dan lafas Azan yang sanggup memunahkan ilmu hitam. Dia membuktikannya malam ini.
Kini tubuhnya terasa lemah. Dia tak tahu sudah berapa banyak darah yang keluar dari luka di punggung dan belakang kepalanya. Dengan mengumpulkan segala tenaga, dia berjalan ke sudut kanan batu pipih dimana dia mendirikan pondoknya. Batu pipih itu sebagai halaman pondok darurat tersebut. Di pondoknya dia menyimpan ramuan obat-obatan. Obat yang dibuat dari ramuan daun dan kulit kayu. Dengan ramuan itu dahulu luka menganga bekas bacokan samurai Kapten Saburo Matsuyama dia obat.
Dengan susah payah dia masuk. Menggesekkan dua batu api dengan sisa tenaganya untuk memasang damar yang dibuat dari getah kayu. Dengan sedikit sisa tenaga, sebisanya dia pergunakan untuk menempelkan ramuan obat kering itu ke lukanya. Kemudian dia berbaring. Sakit, lelah dan tertidur. Tiga hari dia diserang demam hebat. Tubuhnya panas dingin. Dia harus berjuang melawan maut. Untunglah daging macan tutul yang dia buat dendeng sangat membantu kesembuhannya. Daging macan itu berkhasiat melawan bisa dan racun. Daging itu juga membuat daya tahan tubuh melebihi manusia biasa. Dia mengunyah dendeng harimau itu sambil terbaring diam.
Hari keempat dia mulai berangsur sembuh. Namun masih belum mampu untuk berdiri. Tapi di pagi keempat dia bisa lagi menikmati kicau burung. Menikmati pekik siamang dan cericit burung punai dan balam, yang barangkali puluhan banyaknya di atas pohon rimbun dekat pondoknya. Burung-burung itu menyanyi di sana. Berlompatan dari cabang ke cabang. Memakan buahnya yang kecil-kecil. Kini dia bisa tersenyum mendengar dendang sahabat-sahabatnya itu.
Ya, selama belasan purnama di gunung ini, sahabatnya adalah hewan-hewan yang ada. Burung, tupai, beruk, siamang, kijang bahkan terkadang harimau dan ular. Sementara di kampungnya dia tak punya sahabat seorangpun. Kehadirannya pertama kali memang mengejutkan dan dimusuhi oleh penghuni-penghuni gunung tersebut. Mereka seperti sangat keberatan atas kehadiran pihak lain di tempat mereka yang selalu aman itu.
Tak jarang harimau dan ular berniat menerkamnya. Namun di bulan-bulan pertama itu, si Bungsu memilih diam saja di dalam pondoknya. Kalaupun dia keluar, itu hanya untuk berlatih di batu pipih di depan pondoknya. Kalau akan minum dia cukup pergi ke sudut selatan batu lebar tersebut. Di bahagian itu ada air mengalir dari batu di atas batu layah itu. Air itu nampaknya mengalir dari puncak gunung. Tak terlalu besar, namun airnya jernih, sejuk dan segar.
Di sudut selatan itu ada kolam kecil yang terbentuk karena tikaman air terjun, mungkin sudah ratusan tahun. Lebar kolam itu tak lebih dari tiga depa persegi, dengan dalam sedepa. Di dalam tebat batu alam itu hidup ikan kecil-kecil. Tak lebih dari sebesar telapak tangan. Ikan-ikan yang alangkah indah warnanya. Ada yang hijau bercampur merah. Seperti bendera. Ada yang hitam dengan biru dan merah. Bergaris-garis seperti ragi kain. Ketika pertama kali dia mandi di dalam tebat itu, ikan itu berlarian ketakutan. Mungkin menyangka dia sejenis makhluk gergasi yang akan menelan mereka.
Namun dari hari terbilang purnama, akhirnya ikan-ikan itu jadi sahabatnya. Jika dia mandi, ikan-ikan itu selalu bersamaan berenang dan membenturkan kepala mereka ke perut si Bungsu. Si Bungsu terpekik-pekik kegelian. Ikan-ikan itu mengulangi lagi tingkah mereka. Sebaliknya, lama-lama si Bungsu berhasil dengan mudah menangkap ikan tersebut. Terkadang dia berhasil menangkap empat ekor. Kecepatan tangannya terlatih berkat biasa dan diulang berkali-kali hari demi hari.
”Ku gulai kalian. Ku makan kalian dengan tulang-tulang kalian,” dia berseru sambil memegang ikan-ikan itu.
Ikan-ikan tersebut menggelepar-gelepar ingin melepaskan diri. Nampak seperti ketakutan. Dengan tertawa si Bungsu melepaskan ikan-ikan itu kembali. Dan mereka kembali berenang dan membenturkan diri ke perut si Bungsu. Terkadang menggigit daging perutnya. Membuat si Bungsu kembali terpekik-pekik. Demikian persahabatan aneh itu terjalin. Begitu juga dengan burung-burung. Tupai dan musang.
Ah, semuanya sangat indah. Seindah bila dia melihat ke kampung-kampung di bawah sana. Kalau siang dia lihat asap mengepul. Mungkin dari ladang, dan mungkin dari dapur di rumah. Dari batu pipih ini, dia dapat melihat dengan jelas kampung-kampung di kaki gunung Sago itu. Dia dapat melihat rumah atau kerlip lampu di malam hari dari Kampung Sikabu-kabu, Situjuh Ladanglaweh, Tungka, Manangkadok, Padangmangatas, Tabing, Sungaikumayang, Tanjungharo, Halaban atau si Tujuhbatur.
Dari atas sini semua terlihat indah. Asap yang membawa harumnya jagung dari pembakaran di ladang-ladang. Dia sepertinya mencium bau harumnya jagung panggang. Atau nikmatnya rasa gelamai. Ah, semua rasanya menghimbaunya untuk segera turun. Namun dia harus bertahan beberapa waktu lagi di atas ini. Memang tak ada yang melarangnya untuk turun. Dia bisa pergi setiap saat bila dia mau. Namun yang menahannya adalah hatinya sendiri.
Dia tak akan turun sebelum dia merasa yakin akan mampu menuntut balas dendam keluarganya. Dia takkan turun sebelum dia yakin akan bisa menyaingi kemahiran Saburo Matsuyama mempergunakan samurai dalam perkelahian. Dia harus mampu! Sebab ayahnya telah bersumpah untuk membalas dendam. Ayahnya telah bersumpah untuk membunuh Saburo dengan samurai.
Sumpah ayahnya itu dia dengar nyata. Bukankah itu suatu isyarat padanya, agar melaksanakan perintah ayah yang tak pernah dia patuhi suruhannya selama ayahnya hidup? Dia harus melaksanakan niat ayahnya. Hanya itu yang bisa dia lakukan untuk menebus segala dosa yang pernah dia buat pada si ayah. Semasa dia hidup dia tak pernah menyenangkan hati ayahnya. Kini setelah orang tua itu mati, dia ingin melaksanakan niat ayahnya. Dia ingin berbuat baik padanya.
Dari pondoknya tak jauh di depannya dia lihat dua ekor tupai bergelut bekejaran. Saling terkam, bergulingan. Lepas, terkam lagi, bergulingan lagi. Lambat-lambat dia melangkah keluar. Kedua tupai itu masih berlarian. Masih bergelut. Masih bergulingan. Meloncat. Melambung dan menerkam. Dia memperhatikan kembali dengan seksama. Gerakan itu seperti sengaja diperlihatkan kepadanya berulang-ulang. Dan gerakan itu telah dia tiru berkali-kali, sampai mahir. Ya, gerakan yang telah menyelamatkan nyawanya dalam perkelahian dengan Cindaku itu dia tiru dari gerakan dua tupai itu.
Suatu hari dia melihat keduanya berkelahi di cabang pohon. Berkelahi dengan sengit. Saling loncat, saling terkam. Bergulung dan melambung di cabang pohon. Namun tak seekorpun yang jatuh. Mereka nampaknya memiliki ilmu keseimbangan yang sempurna. Kemudian dia menirukan gerakan itu. Mula-mula sudah tentu tak berkelincitan. Tubuhnya berkelukuran. Namun berbulan-bulan setelah itu dia jadi bisa. Dan anehnya, tanpa dia sangka kedua tupai itu ternyata memperhatikan setiap tingkah lakunya. Kemudian kedua tupai itu sering bergelut di batu layah itu. Seperti memberikan petunjuk dan pelajaran baru padanya. Dan tentu saja dia mengikutinya. Dan tupai-tupai itu kemudian menjadi ”sahabat dan gurunya”.
”Terima kasih, saya akan ingat selalu atas pelajaran yang kalian berikan...” ujarnya suatu hari.
Kedua tupai itu menjilat kaki depan mereka. Kemudian meloncat pergi. Dia melambai meskipun tupai itu tak melihat lagi padanya. Dia menatap pada burung-burung yang bernyanyi di pohon. Menatap pada ikan-ikan kecil di tebat alam di atas batu itu. Menatap dan mencium dengan segenap rasa terima kasih bau harumnya hutan belantara itu. Ini adalah hari-hari terakhir dia berada di gunung Sago itu.
Dia tak pernah punya guru secara langsung. Gurunya adalah alam terkembang. Dia lihat Jepang berkelahi mempergunakan samurai. Dia tiru gerakan itu. Dia lihat ayahnya berkelahi menikamkan samurai. Dia tiru cara menikam samurai itu. Dia lihat tupai berkelahi dan bergulingan. Dia tiru gerakan itu. Tuhan menjadikan alam ini untuk dipelajari. Dan dia belajar banyak sekali padanya. Banyak hikmah tersembunyi di balik alam semesta ini. Hanya manusia yang tak mengetahui isyarat-isyarat yang dijadikan Allah Yang Maha Pencipta itu.
Kampung itu telah ramai sekali. Kehidupan sudah berlangsung seperti biasa. Hari itu hari Jum’at, panasnya bukan main. Lelaki boleh dikatakan semuanya berkumpul di masjid. Mereka sebahagian besar hampir tertidur tatkala khatib membaca khotbah. Khotbah yang dibacakan berasal dari penguasa Jepang. Para khatib tidak lagi bebas berkhotbah seperti biasa. Mula-mula cara berkhotbah begitu terasa menyakitkan hati umat Islam. Tidak hanya di kampung itu, tapi juga di seluruh Minangkabau.
Namun lama-lama hal itu menjadi biasa. Kehendak penguasa memang harus ditaati. Masih untung yang mereka wajibkan hanya membaca khotbah yang sudah ditentukan. Lagipula khotbah itu rasanya tak ada yang melanggar ajaran agama. Selain berisi ayat-ayat Al Qur’an dan hadis seperti biasa, menyeru berbuat baik dan menjauhi yang mungkar, kini ditambah dengan menyeru untuk mematuhi perintah yang datang dari Jepang sebagai saudara tua.
Mematuhi perintah Jepang berarti membantu mengamankan kampung halaman. Juga berarti membangun negeri. Nah, apa beratnya membaca khotbah seperti itu bukan? Jemaah sebenarnya ingin cepat khotbah itu berakhir. Namun tak seorangpun yang berani meninggalkan masjid. Sebab mereka tahu, kalau mereka pergi berarti tak suka pada khotbah. Dan tak suka pada khotbah di masjid berarti tak menyukai seruan Jepang si saudara tua. Nah, ini bisa mengundang kesusahan. Daripada susah lebih baik di masjid. Meskipun ngantuk.
Akhirnya sembahyang Jum’at yang dua rakaat itupun selesai. Orang-orang bersalaman untuk pulang. Seorang lelaki seporah baya yang duduk di saf paling belakang disalami oleh orang yang duduk di sebelahnya. Dia menerima salam itu dengan senyum. Namun tatkala dia melihat pada orang yang menyalaminya itu, senyumnya lenyap tiba-tiba. Tangannya yang tengah bersalaman itu dia tarik cepat-cepat. Dia seperti orang yang terpandang pada setan di siang hari. Lalu tiba-tiba dia bangkit. Kemudian bergegas ke pintu. Dua orang lelaki yang akan keluar tertabrak olehnya.
”Hei, bergegas kelihatannya. Akan kemana Datuk?” orang yang ditabrak di pintu mesjid itu bertanya.
Lelaki seporah baya yang dipanggil dengan sebutan Datuk itu mula-mula akan terus keluar. Namun dia berbalik dan berbisik pada kedua lelaki yang ditabrak itu. Kedua lelaki itu tak percaya. Mereka surut kembali ke tengah masjid. Menatap orang yang bersalaman dengan Datuk itu. Yang kini masih duduk menunduk. Kedua orang ini juga tersurut. Kemudian cepat-cepat berlalu. Sudah tentu sikap ini menarik perhatian yang lain. Dan beberapa orang, meniru perbuatannya pula. Berbalik ke tengah masjid dan melihat pada orang yang masih duduk menunduk itu. Kemudian juga mereka seperti melihat setan. Lalu keluar cepat-cepat.
Dalam waktu yang singkat, hampir semua lelaki di kampung itu, yang datang sembahyang Jum’at ke masjid, mengetahui bahwa si Bungsu laknat anak Datuk Berbangsa itu ternyata masih hidup. Dan kini dia kembali ke kampung ini. Ada perasaan tak sedap dan tak aman di hati hampir seluruh lelaki kampung atas kehadiran si Bungsu.
Anak muda itu masih duduk di tengah masjid. Duduk dengan kepala menunduk. Dia tahu tadi orang memperhatikannya. Dia tahu orang berbisik membencinya. Dan itulah kini yang dia renungkan. Dia menyangka dengan masuknya rumah Allah ini perasaannya akan tentram. Dia menyangka bahwa di rumah Allah ini semua insan sama. Bukankah setiap kaum muslim itu bersaudara? Dan bukankah masjid ini adalah lambang dari persaudaraan orang Islam? Mengapa kebencian di luar sana harus dibawa ke rumah suci ini? Atau di rumah Allah inipun manusia sebenarnya tak bisa melepaskan dirinya dari sikap manusia yang hewani. Saling membenci, saling dengki, saling atas mengatasi, saling himpit menghimpit? Atau barangkali dia tak dianggap sebagai seorang Muslim?
”Engkau itu Bungsu?”
Tiba-tiba suara lembut menyapa. Menyadarkan dirinya dari lamunan. Dia mengangkat kepala. Dan matanya tertatap pada Imam yang barusan menyapa. Imam itu masih duduk di depan, di dekat mihrab.
”Benar. Saya inilah pak Haji...” dia berkata sambil kembali menunduk.
”Sudah lama kau tiba di kampung ini?”
Aneh. Suara Imam itu tetap lembut. Tak ada nada permusuhan sedikitpun.
”Saya tiba malam tadi pak....” katanya masih tetap menunduk.
”Angkat kepalamu Bungsu. Ini rumah Allah. Di sini setiap manusia sama nilainya. Mereka hanya berbeda amalnya di sisi Allah”.
Imam itu seperti bisa membaca yang tersirat di hatinya. Dia mengangkat kepala. Menatap Imam itu dengan heran.
”Disenangi. Dibenci. Dipuja. Disanjung. Dilupakan. Dicaci maki, atau tak diacuhkan. Itulah yang dinamakan kehidupan Bungsu. Manusia harus berjuang di antara kemungkinan-kemungkinan itu. Orang takkan mulia karena pujian. Sebaliknya orang juga takkan mati karena caci maki”. Si Bungsu termenung. Dalam masjid itu tak ada orang lain. Hanya dia dan Imam itu saja.
”Dimana engkau malam tadi? ” Imam itu bertanya lagi.
”Di surau lama di hilir kampung ini pak Haji....”
”Hmm. Masih senang main koa atau dadu?”
Dia menggeleng, kepalanya kembali menunduk.
”Kenapa tak terus ke rumahmu?”
Kini dia mengangkat kepala. Menatap pada haji itu.
”Saya sudah sampai di sana pak Haji. Tapi saya lihat ada orang yang menunggu. Saya tak berani membangunkan mereka. Saya tak tahu siapa yang telah menghuni...”
”Yang menghuni adalah Sutan Lembang. Menantu mamakmu Datuk Sati.
Semua orang di kampung ini menyangka engkau telah mati. Jadi seluruh pusaka keluargamu menurut adat jatuh pada kakak lelaki ibumu. Dia punya rumah banyak. Karena itu rumah ibumu disuruh tunggunya pada anak perempuannya. Isteri Sutan Lembang”.
”Ada yang ingin saya tanyakan pada pak Imam...”
”Tentang kuburan ayah, ibu dan kakakmu yang di tengah laman rumah itu?”
Si Bungsu kaget. Alangkah tajamnya firasat Imam ini. Dia memang akan menanyakan kuburan itu. Malam tadi dalam cahaya rembulan, kuburan itu tak dia lihat lagi di tengah halaman itu. Padahal dulu di sanalah dia menguburkan ayah, ibu dan kakaknya.
”Benar. Saya ingin tahu dimana kini kuburan mereka” akhirnya dia berkata juga.
”Dahulu mereka kau kuburkan di tengah halaman bukan? Dan kakakmu dekat jenjang. Benar begitu?”.
Kembali dia terkejut mendengar ketepatan terkaan Haji ini.
”Benar pak Haji...”
”Dan seorang anak yang kau kubur dekat pohon gajus di sebelah sekolah. Dua orang perempuan di bawah batang manggis. Tiga orang lelaki dekat kandang kerbau. Begitu bukan Bungsu?”
”Apakah pak Haji ada waktu saya menguburkan mereka?”
Si Bungsu bertanya di antara rasa kaget dan herannya. Haji itu menarik nafas panjang. Kemudian berkata perlahan.
”Allah Maha Besar. Hari ini Allah membuktikan apa yang kuduga selama ini. Terima kasih Bungsu. Engkau telah menyelenggarakan mayat-mayat itu dengan baik. Salah satu lelaki yang kau kubur itu adalah adikku. Dan anak itu adalah ponakanku. Terima kasih. Saya sudah menduga sejak semula. Bahwa kaulah yang menguburkan mereka. Sebab saat itu semua kami sudah melarikan diri. Kami lihat kau kena hantam samurai.”
Ketika kami kembali sebulan kemudian, kuburan itu kami gali kembali. Kami pindahkan ke pekuburan kaum. Ternyata mayatmu tak kami jumpai. Semua orang menyangka mayatmu diseret binatang ke kaki gunung dan memamahnya di sana. Namun aku menduga, engkau pasti selamat. Dan engkaulah yang menguburkan mereka. Aku tak tahu bagaimana caramu menguburkan mayat sebanyak itu dalam keadaan luka. Dan aku juga tak tahu berapa lama waktu kau perlukan untuk mengubur mereka. Namun aku yakin, pekerjaan itu pastilah pekerjaan yang tak mudah bagimu, mengingat lukamu yang parah itu. Sekali lagi terima kasih nak. Atas bantuanmu mengubur mayat ponakanku, mayat adikku, dan mayat seluruh penduduk yang terbunuh. Kau selenggarakan mayat mereka, meskipun semasa hidupnya mereka selalu membencimu. Tuhan akan membalas budimu nak...”
Air mata Imam itu merembes di pipinya. Betapa tidak, dia yakin anak muda inilah yang telah menolong mayat-mayat itu. Namun alangkah malangnya dia. Dia tak mampu menjelaskan pada orang kampung tentang keyakinannya itu. Dia takut orang kampung akan membencinya. Dia jadi malu pada kelemahan dirinya itu. Seorang Imam yang tak berani mengatakan yang benar hanya karena dia takut dilucilkan orang kampung. Padahal dia tahu benar ada ayat yang berbunyi ”Katakanlah yang benar, meskipun sangat pahit”. Dia menangis menyesali kelemahannya.
”Jadi kuburan ibu, ayah dan kakak saya sudah dipindahkan ke makam kaum di hilir sana pak Haji?”
”Ya, mereka sudah dipindahkan ke sana nak....”
”Terima kasih pak....” dia lalu bangkit.
”Akan kemana kau Bungsu?”
”Saya akan ke kuburan itu pak....”
”Setelah itu?”
”Belum saya pikirkan....”
”Kalau engkau masih lama di kampung ini. Singgahlah ke rumah saya. Masih di tempat yang lama. Dekat pohon kuini besar yang sering kau lempari buahnya dahulu. Singgahlah....”
”Terima kasih pak. Insya Allah. Saya permisi. Assalamualaikum....”
”Waalaikum salam....”
Dia turun dari masjid. Imam itu menatap punggungnya. Aneh kalau lelaki yang turun dari mesjid tadi merasa suatu yang tak sedap dan suatu ketegangan yang mencengkam mereka atas kehadiran anak muda ini, pak Haji ini justru sebaliknya. Ketika menatap punggung anak muda itu, menatap bayang-bayangnya melangkah keluar, ada semacam perasaan bangga dan aman menjalari hati tuanya.
Ya, si Bungsu telah kembali setelah dianggap mati sejak peristiwa berdarah yang memusnahkan keluarganya belasan purnama yang lalu. Orang kampungnya tak melihat satu perubahanpun pada diri anak muda itu. Kesan mereka terhadapnya tetap sama seperti dahulu. Seorang penjudi dengan muka murung dan mata sayu seperti orang yang tak punya semangat. Dan lebih daripada itu, mereka tetap menganggapnya sebagai seorang laknat yang telah membuka rahasia tentang penyusunan kegiatan di kampung ini dalam melawan Jepang. Itulah sebabnya dia tetap tak disukai kembali ke kampungnya. Perasaan tak suka itu segera saja diperlihatkan di hari pertama dia berada di kampung kelahirannya itu. Saat tengah berjalan menuju ke rumahnya setelah kembali dari kuburan, lewat sedikit dari masjid dia dihadang oleh enam lelaki yang rata-rata mempunyai tubuh kekar.
Dengan wajah yang tetap murung dan sinar mata yang kuyu, dia tatap lelaki itu satu persatu. Dia segera mengenali mereka. Mereka adalah pesilat-pesilat. Dua di antaranya adalah murid ayahnya, yang lain murid Datuk Maruhun.
”Assalamualaikum........” sapanya perlahan setelah dari pihak yang mencegat beberapa saat tetap tak bersuara.
Salah seorang satu terbatuk-batuk kecil. Orang itu dia kenal sebagai Malano, murid ayahnya.
”Apa perlumu kemari Bungsu....” Malano bertanya.
Alangkah menyakitkannya pertanyaan itu. Ini adalah kampung halamannya. Tempat dia dilahirkan dan dibesarkan. Kini dia pulang ke kampungnya untuk melihat pusara ayah, ibu dan kakaknya. Sejelas itu kedatangannya, masih ada orang yang bertanya, untuk apa dia kembali. Namun meski pahit sekali pertanyaan itu, dengan kepala masih menunduk dia tetap menjawab dengan suara yang rendah.
”Saya ingin melihat kuburan ayah, ibu dan kakak ....”
”Telah kau lihat kuburan mereka bukan?”
Seorang lagi bertanya. Tanpa melihat orangnya, dia tahu bahwa yang bertanya itu adalah Sutan Permato. Murid silat Datuk Maruhun.
”Ya. Saya datang dari kuburan.”
”Nah, kalau sudah kau lihat, kini tinggalkanlah kampung ini....” suara Malano kembali terdengar.
Dia mengangkat kepala. Ucapan terakhir ini seperti perintah dan ancaman sekaligus. Apakah dia tak salah dengar? Nampaknya memang tidak. Keenam lelaki itu mengelilinginya. Menatapnya dengan penuh kebencian. Dan dari balik kain-kain pintu, dari rumah-rumah yang berdekatan dengan tempat mereka, perempuan-perempuan dan anak-anak mengintip kejadian itu.
”Kenapa saya mesti harus pergi dari kampung ini?....” dia bertanya.
”Kenapa! Cis karena ini!”
Dan terjadilah peristiwa itu. Dulu dia tak ada daya sama sekali tatkala dikeroyok oleh si Baribeh dan ketiga temannya selesai berjudi di surau lapuk di hilir kampung itu. Kini juga dia seperti tak ada daya tatkala keenam lelaki yang rata-rata mempunyai ilmu silat lumayan itu mengkantintamkan kaki dan tangan ke tubuhnya.
Dia terjajar dari satu kaki ke kaki yang lain. Dari satu tangan ke tangan yang lain. Dan akhirnya dia jatuh tersungkur. Tertelungkup dengan mulut dan hidung berdarah.
”Kalau tak memandang waang anak Datuk Berbangsa, sudah kami cincang badan laknat waang itu. Pengkhianat jahanam. Penjudi laknat. Kalau sampai petang nanti waang masih ada di kampung ini, jangan salahkan kami kalau nyawa waang kami akhiri!”
Itu adalah suara Malano. Dia hanya mendengar suara itu sayup-sayup. Kemudian keenam lelaki itu pergi. Anak itu ternyata tetap seperti dahulu. Tak mengerti silat selangkahpun. Lelaki yang tak lengkap sebagai lelaki. Namun dalam telungkupnya yang pasrah itu, si Bungsu bermohon pada Tuhan, agar hatinya dikuatkan untuk tidak menggunakan samurai yang dia bawa bukan untuk mencelakai orang kampungnya.
Dia pasrah menerima perlakuan itu. Sebab dia tahu mereka melakukan itu adalah karena cinta mereka pada kampung jua. Telinganya yang amat tajam yang terlatih mendengar suara kaki lelaki itu menjauh. Bahkan dalam telungkupnya dia dapat mengetahui, yang dua orang berjalan ke arah Utara. Yang tiga orang ke Selatan. Sementara yang satu lagi naik ke rumah tak jauh dari tempat dia terbaring. Telinganya mendengar langkah kaki mereka. Namun badannya memang letai. Makan tangan dan kaki keenam lelaki itu harus dia akui sangat ligat. Perutnya terasa mual. Kepalanya berdenyut-denyut.
Kejadian itu sudah diduga akan terjadi oleh Imam di masjid tadi. Ketika keenam lelaki itu mempermak si Bungsu, Imam itu menyaksikannya dari balik jendela masjid. Dia ingin berteriak mencegah orang-orang itu memukuli si Bungsu. Ingin benar! Dia kasihan pada anak muda itu. Namun dia tidak berani menampakkan diri. Dia tak punya cukup keberanian untuk melarang mereka. Dia Imam masjid ini. Di masjid ini dia menerima sedekah, wakaf, zakat atau uang akad nikah dari penduduk. Kalau dia sempat tak sependapat dengan penduduk, bisa-bisa penduduk tak lagi menyerahkan zakat fitrah atau sedekah padanya. Atau kalau akan menikah, orang pergi saja ke Imam atau kadi yang lain.
Itu berarti menutup mata pencahariannya. Dan dalam zaman serba kacau seperti sekarang ini, kehilangan mata pencaharian merupakan malapetaka hebat. Ah, tidak. Dia tak mau kehilangan mata pencaharian dengan melawan arus pendapat penduduk. Tapi ketika keenam lelaki itu menyelesaikan pekerjaan tangan mereka, dan si Bungsu tergeletak dengan tubuh lenyai, dia merasa malu pada dirinya. Dia kini berada dalam rumah Allah, di mana tiap Jum’at dia berkhotbah menyerukan berbuat kebaikan. Menyeru berbuat jujur. Menyeru untuk berkata benar. Menyeru untuk tidak munafik. Orang munafik kebencian Allah, begitu dia sering berkata dalam khotbahnya.
Namun apa nama pekerjaannya kini? Apakah membiarkan anak muda itu dilanyau, bukan suatu perbuatan pengecut dan munafik? Bukankah selesai Jum’at tadi dia berkata pada anak muda itu bahwa dia mengetahui kebaikannya yang dibuatnya? Bukankah dia mengetahui bahwa anak muda itu tidak bersalah? Kenapa dia tak berani membela anak muda itu? Apakah kepentingan perutnya jauh lebih penting daripada menegakkan suatu kebenaran? Ah, tiba-tiba dia menjadi malu berada dalam rumah Allah ini.
”Ampunkan hambamu yang lemah ini ya Allah.....” bisiknya sambil melangkah turun.
Dia melangkah ke arah si Bungsu yang masih tertelungkup. Dia tahu, dari balik pintu dan jendela rumah-rumah penduduk banyak orang yang mengintip. Dan itu juga berarti mengintip padanya yang kini berjongkok dekat tubuh si Bungsu.
”Bungsu.....” dia memanggil sambil membalikkan tubuh si Bungsu.
Dia merasa hiba melihat hidung dan bibirnya yang berdarah.
”Bangkitlah. Mari ke rumah saya....”
Anak muda itu bangkit dengan berpegang kuat-kuat pada tubuh Imam itu. Imam itu sudah tua. Tubuhnya sudah lemah. Namun kali ini tubuhnya seperti mendapat tenaga baru untuk memapah anak muda itu ke rumahnya. Di jenjang dia berhenti. Sengaja dilayangkan pandangannya keliling. Menatap ke rumah-rumah sekitarnya dengan kepala tegak. Seperti ingin mengatakan pada orang yang mengintip itu, bahwa dia membela anak muda ini.
”Saleha....buka pintu!”
Dia memanggil ke rumah. Seorang gadis membuka pintu dengan ragu-ragu. Gadis berkulit kuning berwajah bundar itu menatap pada ayahnya, kemudian menatap ke rumah-rumah di sekitarnya dengan perasaan cemas.
”Bukalah. Sediakan air panas di panci dan kain bersih. Cepat!”
Gadis itu cepat menghilang ke belakang saat ayahnya membawa si Bungsu naik dan mendudukkannya di ruang tengah, diatas tikar pandan yang bersih. Saleha muncul lagi membawa baskom dengan air hangat-hangat kuku serta sehelai kain lap bersih.
”Bapak akan susah karena bantuan bapak ini....” Si Bungsu berkata perlahan.
Untuk pertama kali gadis anak Imam itu menatap padanya. Pada wajahnya yang memar dan mulut serta hidungnya yang berdarah. Si Bungsu juga menatap padanya. Mereka sebenarnya sudah saling mengenal bertahun-tahun. Bukankah mereka tinggal sekampung? Hanya saja alangkah asingnya dia terasa di kampung ini. Dan gadis ini, anak Imam yang merupakan salah satu bunga di kampungnya ini, juga menatapnya dengan perasaan asing.
”Terima kasih atas air dan kain lapnya Saleha.....” dia bekata perlahan.
Gadis itu tak menjawab. Dia masih menatapnya diam-diam. Memperhatikan anak muda yang oleh orang kampung disebut telah menjual kampung ini pada Jepang beberapa waktu yang lalu. Menatap pada anak muda yang terkenal pemain judi nomor satu itu.
”Sediakan nasi. Kami akan makan bersama. Mana Sawal?”
Imam itu memberi perintah, sekaligus bertanya sambil membersihkan muka si Bungsu. Saleha masih terdiam. Dia heran kenapa ayahnya mau membantu sampai membersihkan wajah penjudi ini.
”Kemana Sawal?” kembali Imam itu bertanya.
”Sudah sejak petang dia tidak pulang”
”Sediakanlah nasi....”
Namun sebelum Saleha beranjak, pintu digedor orang dari luar. Wajah Saleha berobah pucat. Demikian juga Imam itu.
”Pak Imam....! Pak Imam....! Cepat buka pintu!” terdengar suara lelaki dari luar. Mereka berpandangan. Si Bungsu bersandar. Menatap pada Iman dan Saleha yang pucat. Dan tiba-tiba tanpa dibuka, pintu didobrak dari luar. Dua orang lelaki masuk. Si Bungsu segera mengenalnya sebagai orang yang tadi ikut mengeroyoknya. Kedua lelaki itu sejenak tertegun memandangnya.
”Ada apa Leman?” Imam tersebut bertanya sambil berdiri.
”Sawal pak Imam....”
”Ada apa dengan Sawal...”
”Dia ditangkap Kempetai bersama Malano....!”
Saleha terpekik. Imam itu sendiri tertegun. Nama Kempetai membuat tubuhnya jadi lemah. Intel tentara Jepang itu terkenal kekejamannya. Tentara pilihan saja yang dapat masuk menjadi Kempetai. Pilihan dalam beladiri dan kejamnya. Kalau Kempetai sudah turun tangan, itu berarti mati!
”Mengapa dia sampai ditangkap Kempetai....?!” Imam itu bertanya dengan lemah.
”Dua malam yang lalu dia mencuri senjata Jepang di Kubu Gadang. Bersama Malano dan beberapa pejuang kita. Dua orang sudah tertangkap. Senjata yang berhasil dicuri hanya enam pucuk. Kini mereka berdua berada dalam masjid.....’
”Dalam masjid?!”
”Ya...”
Tanpa bicara ba atau bu, Haji itu bergegas turun diikuti oleh kedua lelaki tadi. Kemudian juga Saleha. Si Bungsu menarik nafas panjang. Mengambil kain lap dan kembali membersihkan mukanya.
Malano tertangkap. Demikian pula Sawal. Abang Saleha anak Imam ini. Yang dulu sering menyebut dirinya penjudi kapir. Sawal memang terkenal santri. Bukan karena ayahnya Haji dan Imam di masjid. Tapi pemuda itu memang pemuda yang soleh. Dia guru mengaji di kampung ini. Kini anak muda itu ditangkap Kempetai karena ketahuan mencuri senjata di Markas Jepang di Kubu Gadang. Bah, anak muda itu terlalu bagak, pikirnya sambil tetap bergolek di tikar.
Di depan masjid berdiri tiga orang kempetai. Mereka tegak berkacak pinggang. Penduduk berdesak tak jauh dari halaman masjid tersebut. Ketiga Kempetai itu tak membawa bedil panjang. Sebagai anggota-anggota Kempetai pilihan, mereka hanya membawa sebuah pistol dan samurai.
”Suruh anakmu keluar Haji. Kalau tidak, kami akan menyeretnya keluar!”
Seorang di antara Kempetai itu berkata. Kempetai itu bertubuh gemuk. Saleha menangis dekat ayahnya. Imam itu tak bersuara. Dia masuk ke mesjid. Di dalam, dekat mihrab, dia temui Sawal duduk dengan wajah pucat. Bahunya luka. Nampaknya terjadi perkelahian ketika dia mencuri senjata bersama beberapa orang pejuang Indonesia. Di dekatnya duduk Malano. Lelaki yang tadi memukuli si Bungsu. Dia adalah seorang pejuang bawah tanah. Yang bersumpah akan membunuh Jepang sebanyak mungkin. Sebagai balas dendam atas kematian gurunya Datuk Berbangsa satahun yang lalu.
Haji itu menatap Malano dengan diam. Banyak yang ingin dia ucapkan. Namun tak ada kata yang bisa terucapkan dalam saat seperti ini. Dia ingin menyuruh anaknya melarikan diri. Namun kalau dia melarikan diri, penduduk yang lain akan ditangkap Jepang sebagai gantinya. Bukankah dulu Saburo pernah berkata, kalau ada serdadu Jepang yang mati, maka setiap satu Jepang yang mati akan dibalas dengan membunuh tiga penduduk.
Kalau anaknya dan Malano melarikan diri, maka penduduk yang tak berdosa akan menjadi korban pembunuhan Jepang. Hal ini sudah beberapa kali terjadi di kampung-kampung sekitar ini. Tiba-tiba di luar terdengar pekikan Saleha. Imam itu dan Sawal terkejut. Mereka berlarian ke pintu. Di luar mereka lihat Saleha berada dalam pelukan salah seorang Kempetai.
Begitu Sawal muncul, Kempetai yang gemuk itu mencabut pistol dan menembakkannya. Sawal berlari kembali ke dalam masjid. Peluru pistol menghantam ayahnya. Haji itu terpekik dan rubuh. Jepang gemuk itu memberi perintah kepada kedua temannya. Kedua Kempetai itu menghambur masuk dengan sepatu yang dipenuhi lumpur. Penduduk jadi kaget dan berang melihat serdadu itu masuk ke rumah ibadah mereka tanpa membuka alas kaki.
Namun marah mereka terpaksa mereka pendam. Siapa pula yang berani marah pada Kempetai? Meski mereka hanya bertiga, tapi itu berarti sama dengan sebuah pasukan besar. Terdengar bentakan dan pekikan di dalam. Kemudian penduduk melihat Sawal dan Malano digiring keluar dengan tubuh luka-luka.
”Kedua lelaki ini, dan anak gadismu terpaksa kami tahan pak Imam. Gadismu ini hanya kami jadikan sebagai jaminan agar abangnya tidak melarikan diri. Jangan khawatir, dia akan aman....”
Jepang gemuk itu berkata dengan senyum memuakkan. Imam tersebut hanya duduk tersandar ke pintu. Luka di bahunya mengalirkan darah. Sementara Saleha meronta-ronta melepaskan diri. Tapi yang memegang tangannya terlalu kuat buat dia lawan. Ketiga Jepang itu memutar tubuh dan mulai melangkah meniggalkan halaman mesjid itu. Tiba-tiba mereka tertegun. Seorang lelaki, berbaju gunting Cina, berkain sarung melintang di bahunya, bercelana gunting Jawa tegak menghadang jalan mereka.
Si Bungsu!
Ya. Dialah yang tegak menghadang itu. Di sudut bibirnya masih menetes darah dari bekas dilanyau Malano dan teman-temannya beberapa menit berselang.
”Apakah bangsa kalian tak beradab sedikitpun, sehingga masuk rumah ibadah tanpa membuka sepatu yang kotor?”
Anak muda itu berkata dengan nada suara yang setajam pisau.
Jepang-jepang itu tertegun. Mereka lebih banyak heran daripada kaget. Heran ada lelaki pribumi yang berani menghadang Kempetai. Apakah lelaki ini edan, pikir mereka. Namun yang bertubuh gemuk itu segera ingat anak muda ini.
”Hei beruk. Bukankah kamu orang yang kami tangkap malam itu ketika bersembunyi dekat Sasaran silat rahasia itu? Ya, engkaulah orangnya. Kamu orang anak Datuk Berbangsa jahanam itu ya?” penduduk pada terdiam.
”Tangkap anak jahanam ini. Ayahnya seorang pemberontak. Anaknya tentu sama saja...” si gemuk itu berkata lagi.
Si Bungsu segera ingat bahwa si gemuk ini adalah Jepang yang dulu memimpin penangkapan atas pesilat-pesilat di sasaran rahasia yang waktu itu dilatih oleh Datuk Maruhun.
”Lepaskan gadis itu...” dia berkata perlahan.
”Tangkap dia!!” perintah si gemuk menggelegar.
Salah seorang Kempetai itu melepaskan pegangannya dari Malano. Kemudian maju menangkap si Bungsu. Namun sebuah tendangan menyebabkan Kempetai tersurut dengan perut mual.
”Bagero! Habisi nyawanya!!” si gemuk yang merasa sudah banyak waktunya yang terbuang segera memerintahkan untuk membunuh anak muda itu.
Kedua Jepang itu maju dengan menghunus samurai mereka. Mata si Bungsu tiba-tiba berkilat. Orang yang hadir tak melihat perubahan sedikitpun pada diri anak muda itu. Wajahnya tetap murung. Sinar matanya tetap luyu. Begitu dulu, begitu sekarang. Tiba-tiba kedua Jepang itu membabat. Dan tiba-tiba....snap!! Tiga bacakon yang terlalu cepat untuk bisa diikuti. Akhirnya sebuah tikaman yang telak ke belakang. Persis seperti jurus yang dipergunakan oleh ayahnya, Datuk Berbangsa, di halaman rumahnya belasan purnama yang lalu.
Kedua Kempetai itu tertegak diam. Mata mereka menatap kosong ke depan. Wajah mereka seperti keheranan. Tiba-tiba mereka rubuh! Si Bungsu tegak diam di tempatnya. Samurai di tangannya berada kembali dalam sarungnya. Semua orang terdiam. Bahkan anginpun seperti berhenti bertiup. Jepang gemuk itu juga tertegun. Namun hanya sesaat, kemudian dengan memaki dalam bahasa Jepang dia maju. Tangannya tergantung dekat samurai. Dia maju setelah mendorong Saleha hingga rubuh.
”Kubunuh kau jahanam!” Jepang gemuk itu memaki, dan samurainya berkelebat.
Aneh, tiba-tiba pula seperti halnya ketika dia melawan harimau jadi-jadian di gunung Sago sebulan yang lalu, wajah Kempetai gemuk ini sepeti berubah. Wajahnya kini mirip wajah Saburo Matsuyama. Komandan Kempetai yang membunuh ayah, ibu dan memperkosa kakaknya.
Wajahnya yang murung berubah jadi keras. Gerakan samurai si gemuk itu bukan main cepatnya. Namun lebih cepat lagi gerakan lompat tupai yang dipergunakan oleh si Bungsu. Tubuhnya tiba-tiba berguling ke kanan. Samurai si gemuk memburu ke sana. Kosong! Tiba-tiba dia melambung tegak dua depa di depan Kempetai itu. Kini mereka berhadapan. Tak seorangpun di antara penduduk yang percaya atas apa yang baru saja mereka saksikan.
Mulai dari saat kematian kedua Kempetai itu, sampai pada peristiwa sebentar ini. Benarkah yang berada di hadapan mereka dan yang berhadapan dengan Kempetai itu adalah si Bungsu anak Datuk Berbangsa? Si penjudi yang terkenal penakutnya itu? Mereka tak sempat berpikir. Kedua lelaki itu berhadapan lagi. Kempetai gemuk itu menggeser telapak kakinya di tanah, inci demi inci. Tiba-tiba samurainya bekerja.
Tapi saat itu si Bungsu mencabut samurainya. Tak seorangpun yang melihat bergeraknya samurai kedua orang itu. Kedua-duanya alangkah cepatnya. Namun, kini si Bungsu kelihatan berlutut di lutut kirinya. Samurainya menghujam ke belakang. Dan di ujung samurainya Kempetai gemuk itu tertusuk persis di dada kiri! Kempetai itu tertegak diam. Matanya mendelik. Samurainya terangkat tinggi.
Dia menggertakkan geraham. Menghimpun tenaga. Kemudia menghayunkan samurai di tangannya ke tengkorak si Bungsu yang berlutut di sebelah kaki membelakanginya. Saleha terpekik. Begitu pula beberapa perempuan yang tegak dengan kaku di sekitar halaman masjid itu. Namun hayunan samurai si gemuk hanya sampai separoh. Kempetai itu rubuh ke tanah. Si Bungsu menyentakan samurainya dan dengan amat cepat memasukkan kembali ke sarungnya.
Gerakan cepat Bungsu mencabut samurainya diawal pertarungan tadi membuat konsentrasi si gemuk terganggu. Itulah salah satu sebab kenapa serangannya tak terarah. Tak pernah dia sangka sedikitpun, bahkan hampir tak masuk di akal, ada penduduk pribumi yang masih sangat muda memilki kecepatan luar biasa mempergunakan samurai. Lebih cepat dari seorang Kempetai! Apakah ini bisa terjadi? Ketika kedua anak buahnya meninggal tadi, sebenarnya dia sudah merasa heran.
Kuda-kuda dan langkah kaki anak muda ini tak menurut aturan dan teori seorang samurai. Nampaknya asal melangkah saja. Bahkan beberapa gerakannya terlihat canggung dan lucu. Tapi kenapa dia bisa secepat itu? Kempetai gemuk itu tak sempat mengambil kesimpulan atas pertanyaan di kepalanya. Dia keburu mati.
Kalau Kempetai itu sudah menganggap bahwa si Bungsu terlalu cepat dengan samurainya, maka penduduk kampung itu benar-benar tak tahu apa yang terjadi. Mereka melihat si Bungsu hanya sekali memegang samurai terhunus. Yaitu ketika dia menikamkan samurai itu pada si gemuk di belakangnya. Kemudian samurai itu disentakkan, dan lenyap ke dalam sarungnya. Kini anak muda itu seperti hanya memegang sebuah tongkat kayu yang panjangnya kurang sedepa.
Si Bungsu tegak di antara mayat-mayat Kempetai itu. Menatap pada Saleha, kemudian pada Sawal dan Malano. Sementara mereka membalas tatapannya dalam diam. Mereka benar-benar takjub. Kejadian ini terlalu luar biasa bagi mereka. Anak muda itu masih tegak dengan muka murung. Lalu si Bungsu menoleh pada Imam yang masih tersandar di pintu masjid.
”Saya rasa Kempetai ini hanya datang bertiga. Mudah-mudahan yang lain tak tahu. Kuburkan meraka jauh-jauh. Lenyapkan segala tanda kedatangan mereka kemari. Jangan sampai yang lain tahu. Kalau mereka tahu mereka mati di sini, yang lain akan mereka bunuh. Terima kasih atas bantuan pak Imam pada saya....” lalu dia menoleh pada Sawal.
”Tinggalkan kampung ini buat sementara. Agar Jepang-jepang itu tak curiga.” Kemudian dia menghadap lagi pada Malano yang tadi melayanyaunya dengan tangan.
”Terima kasih Malano, engkau seorang pejuang. Ayah pasti bangga mempunyai murid seperti engkau. Siang tadi kalian memberiku waktu sampai sore untuk berada di kampung ini. Sudah tiba saatnya bagi saya untuk pergi...”
Lalu dia memandang pada Saleha. Gadis itu juga menatap padanya.
”Terima kasih Saleha. Atas air hangat dan kain lap yang engkau berikan tadi....”
Tak ada yang menjawab. Tak ada yang bersuara. Dan anak muda itu berjalan menuju hilir kampung. Suaranya tadi terdengar tenang. Tak ada nada dendam. Tak ada nada sakit hati. Dia tetap seperti dahulu. Wajahnya tetap murung dengan tatapan mata yang kuyu. Ya, tak ada yang berobah pada dirinya. Dia tetap seperti dulu. Bedanya kini hanyalah ”Samurai di tangan dan bara dendam di hatinya!”
Si Bungsu makin lama makin jauh. Semua orang ingin memanggil dan berkata agar dia jangan pergi. Semua orang ingin minta maaf atas apa yang telah mereka perlakukan terhadap anak muda itu. Saleha, Malano, Sawal. Semuanya! Namun tak seorangpun yang mampu membuka mulut. Tak ada suara yang mampu diucapkan. Tak tahu bagaimana cara memulai kalimat. Imam ayah Saleha itulah yang bicara. Dia bicara perlahan, di antara air matanya yang mengalir turun. Dia bicara dari pintu masjid, sambil bersandar ke pintu dan memegangi luka di dadanya.
”Setahun yang lalu, ketika semua kita melarikan diri dari kampung ini, dialah yang menguburkan jenazah anak kemenakan kalian. Dialah yang menguburkan suami dan isteri kalian. Dia tak ingin mayat-mayat itu dimakan binatang buas. Dia kuburkan mereka dalam keadaan dirinya sendiri luka parah. Bukankah engkau Datuk Labih yang melihat bahwa dia kena bacokan samurai sebelum engkau sendiri melarikan diri? Meninggalkan kakak perempuanmu diperkosa dan dibunuh tentara Jepang? Kemudian engkau pula yang mengatakan pada orang kampung bahwa tak mungkin dia menguburkannya. Bahwa bangkainya pasti telah dimakan anjing atau diseret binatang buas ke rimba? Bahwa kalian semua mempercayai, bahkan memang berharap, anak itu mendapat celaka seperti itu? Bukankah begitu?”
Tak ada yang menjawab. Beberapa orang kelihatan menghapuskan air mata. Imam itu juga menghapus air mata di pipinya yang tua. Tiba-tiba dia menjadi muak melihat orang kampungnya ini. Dia juga muak pada dirinya. Kenapa tak sejak dahulu dia mempunyai keberanian untuk berkata begini? Seekor burung Gagak terbang tinggi. Suaranya menyayat pilu. Gaaak....gaaak...gaaak. Di ujung sana, tubuh si Bungsu lenyap di balik tikungan. Pergi bersama tenggelamnya matahari senja.
Hilang si Noru tampak Pagai
Hilang dilamun-lamun ombak.
Hilang si Bungsu karano sansai
Hilang di mato urang banyak.
*******
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan tinggalkan komentar anda tentang tulisan ini...