Sunday 9 September 2012


“Tak ada yang menjawab. Beberapa orang kelihatan menghapuskan air mata. Imam itu juga menghapus air mata di pipinya yang tua. Tiba-tiba dia menjadi muak melihat orang kampungnya ini. Dia juga muak pada dirinya. Kenapa tak sejak dahulu dia mempunyai keberanian untuk berkata begini? Seekor burung Gagak terbang tinggi. Suaranya menyayat pilu. Gaaak....gaaak...gaaak. Di ujung sana, tubuh si Bungsu lenyap di balik tikungan. Pergi bersama tenggelamnya matahari senja.

Hilang si Noru tampak Pagai
Hilang dilamun-lamun ombak.
Hilang si Bungsu karano sansai
Hilang di mato urang banyak.”

Malam itu gerimis turun membasahi bumi. Empat orang serdadu Jepang kelihatan berkumpul di sebuah kedai kopi di kampung Tabing. Kampung itu masih terletak dikaki gunung Sago. Sebuah desa kecil yang tak begitu ramai. Namun karena letak kampung itu di dalam kacamata militer cukup strategis, maka Jepang menjadikan kampung itu sebagai salah satu markasnya.

Ada beberapa markas Jepang yang termasuk besar di sekitar kaki Gunung Sago di Luhak 50 kota ini. Yaitu Padang Mangatas, Tabing, Pekan Selasa dan Kubu Gadang. Jepang menganggap daerah Luhak 50 Kota ini sebagai daerah strategis. Karena dari sini dekat mengirimkan pasukan atau suplay ke Batu Sangkar atau ke Logas dan Pekanbaru. Di daerah mana Jepang mempunyai tambang-tambang emas dan berbagai kepentingan militer lainnya. Kedai kopi itu sebenarnya sudah akan tutup. Pemiliknya seorang lelaki tua sudah akan tidur. Namun keempat serdadu Jepang itu tetap menggedor pintu kedainya.

”Jangan bobok dulu Pak tua. Kami ingin makan paniaram dengan sake. Ayo keluarkan paniaramnya..” salah seorang bicara. Dari mulut mereka tercium bau sake. Semacam minuman keras khas Jepang.

”Paniaram sudah habis tuan....”

”Ah jangan ngicuh laa. Tak baik ngicuh. Tadi siang masih banyak. Ayooo...!”

Dan orang tua itu mereka dorong sampai terdede-dede masuk ke kedainya. Mereka langsung saja duduk di kursi panjang dan mengambil empat buah gelas. Dari kantong mereka mengeluarkan beberapa buah botol porselin. Menuangkan isi botol itu ke dalam gelas. Hanya sedikit, lalu meminumnya.

Mereka lalu berbisik. Salah seorang lalu berseru:

”Hei, pak tua. Mana paniaramnya.”

Lelaki itu terpaksa mengambil kaleng empat segi yang berisi paniaram. Kemudian meletakkannya ke depan tentara Jepang tersebut.

”Mana Siti pak tua. Suruh dia membuatkan kami kopi...” Hati gaek itu jadi tak sedap. Siti adalah anak gadisnya. Biasanya dia berada di Padang Panjang. Sekolah Diniyah Putri di sana. Tapi sejak Jepang masuk, dia merasa anak gadisnya tak aman di sana. Lagipula, banyak orang tua yang menyuruh pulang anak-anaknya yang sekolah jauh.

Pak tua ini juga menjemput Siti. Dan selama di kampung dia lebih banyak di rumah.

”Tak ada lagi air panas untuk membuat kopi tuan....” dia masih coba mengelak.

Tapi terus terang saja hatinya sangat kecut. Keganasan Jepang terhadap perempuan bukan rahasia lagi. Meskipun belum lewat dua tahun mereka di Minangkabau ini. Beberapa hari yang lalu, dua orang penduduk yang dituduh mencuri senjata di Kubu Gadang, dipenggal ditepi batang Agam. Dan segera saja tentara Jepang itu memaki. Belasan perempuan, tak peduli gadis atau bini orang, telah jadi korban perkosaan.

”Jangan banyak cincong pak tua. Suruh anakmu turun membuatkan kopi untuk kami....” bentak salah seorang tentara itu.

Lelaki tua itu tak punya pilihan lain selain menyuruh anaknya turun dan membuatkan kopi. Siti memakai pakaian yang buruk. Mengusutkan rambutnya kemudian turun membuatkan kopi. Namun meski dia berusaha memburuk-burukkan badannya dan pakaian yang dia pakai longgar, tetap tak dapat menyembunyikan kecantikan dan kepadatan tubuhnya. Tak dapat menghilangkan bahwa pinggulnya padat berisi. Dadanya sedang ranum. Semua itu masih jelas terbayang. Bahkan makin merangsang dalam cahaya pelita yang teram temaram dalam kedai kecil itu.

Ketika dia lewat hendak ke dapur di dekat ke empat serdadu itu, dengan kurang ajar sekali yang seorang meremas pinggulnya. Yang seorang dengan cepat mencubit dadanya, gadis ini terpekik dan menangis. Dia segera akan lari ke atas rumahnya kembali. Namun dia terpekik lagi ketika larinya dihadang oleh sebuah samurai. Samurai itu berkelebat. Dan ujung kain batik yang dia pakai sebagai selendang putus! Dapat dibayangkan betapa tajamnya senjata itu.

”Kau Siti, dan kau juga pak tua, jangan banyak tingkah. Kami ingin minum kopi, makan paniaram, sediakan cepat kalau tidak ingin dimakan mata samurai ini...!”

Siti menggigil. Ayahnya mengangguk tanda menyuruh. Sambil menangis terisak-isak, gadis berumur tujuh belas tahun itu menghidupkan api untuk membuat kopi.

”Assalamualaikum.......” tiba-tiba terdengar suara perlahan dari luar.

Tak ada yang menyahut kecuali tolehan kepala. Lelaki tua itu, anak gadisnya, dan keempat serdadu Jepang itu menoleh ke pintu. Di ambang pintu muncul seorang lelaki muda dengan wajah murung. Matanya yang kuyu menatap isi kedai. Dia memandang pada Siti. Sebentar saja. Tapi dia melihat pipi gadis itu basah. Dia memandang pada pemilik kedai. Kemudian pada keempat serdadu itu. Dia mengangguk memberi hormat. Anggukan pelan saja. Meski tak di balas, dia melangkah masuk. Di tangannya ada sebuah tongkat kayu.

Ke empat serdadu Jepang itu kembali meminum sake mereka. Nampaknya minta kopi hanya sekedar untuk menyuruh anak gadis itu untuk turun ke kedai ini saja. Untuk minum mereka mempunyai sake. Anak muda yang baru masuk itu duduk di sudut kedai. Membelakangi pada keempat serdadu itu.

”Apakah saya bisa minta kopi secangkir upik?” dia bertanya perlahan pada Siti yang duduk dekat tungku menunggu air, sedepa di sampingnya.

Gadis itu menoleh padanya. Anak muda itu menunduk. Seperti sedang melihat daun meja. Gadis itu tak menyahut. Meski dia yakin anak muda itu tak melihat anggukannya, dia mengangguk juga sebagai tanda akan menyediakan kopi yang diminta. Meski menunduk, anak muda itu dapat melihat anggukan gadis itu.

”Hei pak tua, bukankah Sumite yang bertubuh gemuk itu minum di sini lima hari yang lalu?”

Tentara Jepang itu bertanya pada lelaki pemilik kedai. Lelaki itu tak segera menjawab.

”Sumite. Kempetai yang bertubuh gemuk itu. Bukankah dia minum bersama dua orang anak buahnya di sini lima hari yang lalu?”

Pemilik kedai itu segera tahu siapa yang ditanyakan Jepang itu. Kempetai bertubuh gemuk itu memang minum disini lima hari yang lalu. Kemudian dia pergi. Tapi sejak hari itu, Kempetai itu lenyap tak berbekas. Dia harus hati-hati menjawab. Jangan sampai dia berurusan pula ke Kempetai nanti. Kempetai telah datang kemari dua kali. Dia menjawab seadanya.

”Ya tuan. Dia minum di sini bersama dua orang temannya.”

”Tak ada dia mengatakan kemana dia akan pergi?”

”Tak ada tuan.”

”Nah, dia lenyap tak berbekas. Dia diperintahkan untuk menangkap dua orang lelaki yang mencuri senjata di kampung di kaki gunung sana. Tapi tak pernah kembali. Kampung itu sudah diperiksa. Orang yang ditangkap itu juga tak pernah pulang ke kampungnya.”

”Barangkali dia melarikan diri ke Agam. Dan Sumite memburunya ke sana...” Jepang yang satu lagi memotong pembicaraan.

”Tak tahulah. Di negeri ini memang banyak setannya. Hei Siti, cepat bawa kemari kopi itu... Naah, bagus, bagus....Yoroshi...”

Siti datang membawa empat gelas kopi. Ketika dia akan meletakkannya, Jepang yang bertubuh kurus memeluk pinggangnya. Siti terpekik.

”Tak apa. Tak apa. Saya sayang Siti. Saya sayang Siti. Saya akan belikan Siti kain.”

Jepang kurus itu merayu sambil mencium-cium punggung Siti. Siti menangis. Segelas kopi terserak. Jepang-jepang itu tertawa. Ayah Siti pernah belajar silat. Namun menghadapi empat serdadu dengan samurai ini hatinya jadi gacar. Apalagi tak jauh dari kedainya terdapat kamp tentara Jepang. Dia terpaksa diam.

Jepang kurus itu sudah mendudukkan Siti di pangkuannya. Kemudian membelai wajah gadis itu. Kemudian mencium pipinya. Bau sake membuat Siti ingin muntah. Bau keringat Jepang itu membuat Siti hampir pingsan.

”Mana kopi saya Siti....”

Tiba-tiba terdengar suara dari belakang Jepang-jepang itu. Jepang-jepang yang sedang tertawa itu terdiam. Mereka menoleh. Dan melihat pada lelaki yang masuk tadi yang duduk menunduk membelakangi mereka. Di kanannya di atas meja kelihatan tongkat kayu melintang. Dialah yang barusan minta kopi pada Siti.

”Kamu orang bicara sebentar ini?” si kurus bicara.

”Ya,” orang itu menjawab perlahan.

”Apa bicara kamu orang?”

”Saya tadi meminta kopi. Dan Siti terlalu lama.”

”Kamu bisa bikin sendiri kopi. Itu ada air di tungku.”

”Tidak. Saya meminta Siti yang membikinkan....”

”Siti ada perlu dengan saya...”

”Tidak. Dia harus membikin kopi untuk saya...”

”Bagero. Kurang ajar....”

”Siti mana kopi saya”, anak muda itu tetap tenang dan menunduk tanpa mengacuhkan Jepang yang berang itu.

Siti melepaskan dirinya dari pelukan Jepang tersebut. Namun si kurus mendorong tubuh Siti ke pangkuan temannya satu lagi. Lalu dia sendiri tegak dengan gelas kopi di tangannya. Jepang itu berjalan ke arah anak muda yang meminta kopi itu.

”Kau minta kopi ya! Ini minumlah!”

Berkata begitu si kurus menyiramkan kopi itu ke kepala anak muda tersebut. Namun tiba-tiba ada cahaya berkelebat cepat sekali. Dan... trasss! Gelas di tangan Jepang itu belah dua. Kopinya tumpah ke wajahnya sendiri. Tangannya luka mengucurkan darah! Jepang itu terpekik kaget dan melompat mundur. Anak muda itu masih membelakang. Kini kelihatan dia lambat-lambat meletakkan tongkatnya.

”Samurai!!” tanpa terasa keempat serdadu itu berkata sambil tegak.

Mereka menatap dengan kaget.

”Siti. Ambilkan kopi untuk saya...”

Anak muda yang tak lain dari pada si Bungsu itu berkata lagi perlahan. Dia masih tetap duduk memunggungi keempat serdadu Jepang tersebut. Si kurus yang tangannya luka, tiba-tiba dengan memekikkan kata Banzai yang panjang mencabut samurainya. Dan menebas leher si Bungsu. Namun tiba-tiba setengah depa di belakang anak muda itu, sebelum dia sempat membabatkan samurainya sebacokpun, tubuhnya seperti ditahan.

Ternyata yang menahan adalah ujung tongkat kayu anak muda itu. Samurai itu tak dia cabut. Hanya sarungnya yang dia hentakkan ke dada tentang jantung si kurus. Kini mereka berempat, termasuk Siti dan ayahnya, baru dapat melihat dengan jelas wajah anak muda itu. Seorang anak muda yang berwajah gagah, tapi amat murung.

”Saya tak bermusuhan dengan kamu kurus. Kalau engkau coba melawan saya, engkau akan mati seperti anjing. Pemilik kedai ini serta anak gadisnya juga tak bermusuhan dengan kalian. Kalian datang menjajah kemari. Kalian telah banyak menangkapi para lelaki. Dan memperkosa wanita negeri ini. Karena ini jangan ganggu gadis ini. Saya meminta kopi, jangan ganggu saya minum....’

Sahabis berkata begini, dia menolakkan tongkatnya. Dan si kurus terdorong ke belakang tanpa sempat membabatkan samurai di tangannya yang telah terangkat. Si Bungsu menatap pada Siti yang masih duduk di pangkuan salah seorang Jepang tersebut.

”Siti, ambilkan kopi saya...” katanya perlahan.

Siti segera berdiri. Jepang yang memeluknya seperti tersihir, tak berani menahan gadis itu. Siti segera membuatkan kopi. Kemudian meletakkannya di depan anak muda itu.

”Duduklah...” anak muda itu menyuruh Siti duduk di kursi di depannya.

Sudah tentu dengan segala senang hati Siti menurutinya.

”Apapun yang akan terjadi Siti, tetaplah diam...” dia berkata perlahan sekali sebelum meneguk kopinya.

Siti mendengar ucapan itu. Matanya tak lepas menatap anak muda tersebut. Dia mengangguk. Dan saat itu si kurus yang tadi masih tertegak dengan samurai terhunus tak dapat membiarkan dirinya dilumuri taik seperti itu. Tanpa teriakan Banzai seperti tadi, dengan diam-diam saja agar tidak di ketahui, dia melangkah maju. Dan tiba-tiba dia membabatkan samurainya ke tengkuk anak muda tersebut.

Ketiga temannya memperhatikan dengan tenang. Siti ingin berteriak. Namun dia segera ingat pada pesan anak muda ini barusan. Agar dia tetap tenang, apapun yang akan terjadi. Meski matanya terbeliak karena kaget dan ingin memperingatkan, namun dia menggigit bibirnya. Sudah terbayang olehnya leher anak muda di depannya ini putus dibabat samurai.

Namun apa yang harus terjadi, terjadilah!

Jepang kurus itu tetap tak sempat membabatkan samurainya meski seayunpun. Dengan kecepatan yang amat luar biasa, si Bungsu mencabut samurainya. Dua kali ayunan cepat dan sebuah tikaman ke belakang mengakhiri pertarungan itu. Babatan pertama memuat putus lengan si kurus yang memegang samurai. Lengan dan samurainya terlempar menimpa barang jualan di kedai itu. Darah menyembur-nyembur! Babatan kedua merobek dadanya. Dan tikaman terakhir menembus jantungnya. Tikam Samurai!

Ketiga Jepang lain tertegak dengan wajah takjub dan pucat.

”Sudah saya katakan. Kalau dia melawan saya, dia akan mati seperti anjing...” anak muda ini berkata perlahan.

”Kalian mencari teman kalian si Kempetai gendut bernama Sumite itu bukan?”

Ketiga Jepang itu seperti dikomando pada mengangguk. Mereka masih terpesona melihat kehebatan anak muda ini memainkan samurai.

”Nah, dia dan dua kempetai lainnya, juga mati di tangan saya. Mati seperti anjing. Bukan salah saya. Mereka yang meminta. Karena kalian sudah mendengar, maka kalian juga harus mati. Tapi sebelum kalian mati, kalian harus menjawab pertanyaan saya. Dimana Kapten Saburo Matsuyama kini berada?”

Tak ada yang menjawab. Ketiga Jepang itu saling pandang. Dan tiba-tiba seperti dikomando, mereka melompat mencabut samurai mereka. Si Bungsu meloncat ke atas meja. Ketiga samurai itu memburu ke sana. Dia meloncat turun. Ketiga Jepang itu memburunya. Dan kembali terjadi apa yang harus terjadi! Dua buah sabetan yang amat cepat, kemudian disusul sebuah tikaman ke belakang. Tikaman yang pernah dipergunakan Datuk Berbangsa ketika melawan belasan purnama yang lalu.

Dua kali babatan pertama merubuhkan dua tentara Jepang. Yang satu robek dadanya. Yang satu hampir putus lehernya. Dan tikaman membelakang terakhir, menyudahi nyawa serdadu yang ketiga. Anak muda itu terhenti sesaat. Kemudian cepat dia mencabut samurai yang tertancap di dada Jepang itu. Dan... trap! samurai itu masuk ke sarung di tangan kirinya. Kini dia hanya seperti memegang sebuah tongkat kayu.

Siti dan ayahnya seperti terpaku di tempat mereka. Anak muda itu berjalan lagi dengan tenang ke mejanya, di mana Siti duduk dengan diam. Dia mengangkat gelas kopinya. Kemudian meminum kopinya tiga teguk.

Kemudian memandang pada Siti. Kemudian menoleh pada pemilik kedai itu.

”Maafkan saya terpaksa menyusahkan Bapak...”, dia melangkah ke dekat lelaki tua itu.

Lalu tiba-tiba samurainya bekerja. Sret..!! Lelaki itu terpekik. Siti terpekik. Lelaki tua itu merasakan dadanya amat perih. Samurai si Bungsu memancung dadanya. Mulai dari bahu kanan robek ke perut bawah. Siti menghambur dan memukul anak muda itu sambil memekik-mekik. Namun lelaki tua itu masih tegak dengan wajah pucat.

”Pergilah lari ke markas Jepang di ujung jalan ini. Laporkan di sini ada serdadu yang mabuk dan berkelahi. Cepatlah!”

Lelaki tua itu kini tiba-tiba sadar apa sandiwara yang akan dia mainkan. Luka di dada dan perutnya hanya luka di kulit yang tipis. Meski darah banyak keluar, tetapi luka itu tak berbahaya. Anak muda ini nampaknya seorang yang amat ahli mempergunakan samurainya. Siti yang juga maklum, jadi terdiam. Dia jadi malu telah memaki dan memukuli anak muda itu.

”Pergilah. Kami akan mengatur keadaan di sini...”

Si Bungsu berkata. Orang tua itu mulai berlarian dalam hujan yang mulai lebat. Memekik dan berteriak-teriak hingga sampai ke Markas Tentara Jepang. Dalam waktu singkat, lebih dari selusin serdadu Jepang dan puluhan penduduk datang membawa suluh. Kedai itu berubah seperti pasar malam. Kedai itu kelihatan centang perenang. Meja dan kursi terbalik-balik.

Seorang anak muda kelihatan tersandar ke dinding di lantai. Dada dan tangannya berlumur darah. Nampaknya dia kena bacokan samurai pula. Siti kelihatan menangis di dapur. Baju di punggungnya robek panjang. Dari robekan itu kelihatan darah merengas tipis. Di antara mereka kelihatan keempat serdadu Jepang itu telah jadi mayat. Samurai-samurai mereka kelihatan berlumur darah.

”Mereka mabuk. Minum sake dan minta kopi. Kemudian entah apa sebabnya mereka lalu saling mencabut samurai. Main bacok. Kami tak sempat menghindar... saya terkena bacokan, entah samurai siapa saya tak tahu. Anak muda itu yang sudah sejak sore tadi terkurung hujan juga kena sabetan samurai.... Siti juga...”

Lelaki pemilik kedai itu bercerita dengan wajah pucat penuh takut.

”Lihatlah kedai saya...centang perenang. Saya rugi...” katanya.

Tiga orang Kempetai yang juga ikut nampak sibuk mempelajari situasi kedai itu dan mencatat di buku laporan mereka.

”Saya sudah bilang jangan biarkan mereka minum sake dalam tugas...”

Komandan Kempetai itu berkata dengan berang. Kemudian menghadap pada pemilik kedai.

”Maaf, anak buah saya membuat kekacauan. Dia sudah pantas menerima kematian atas kebodohan mereka ini. Bapak besok bisa datang ke Markas. Kami ingin minta keterangan tambahan dan memberikan ganti rugi yang timbul malam ini. Kami tak mau tentara Jepang merugikan rakyat... Nipong, Indonesia sama-sama. Nipong saudara tua, Indonesia saudara muda...”

Dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengangkut mayat-mayat itu ke markas. Penduduk lalu berkerumun menanyai pemilik kedai. Tetapi lelaki itu segera menutup kedainya. Orang terpaksa pulang karena hujan makin lebat. Kini dalam kedai yang centang perenang itu, tinggalah mereka bertiga. Siti menghentikan tangis pura-puranya. Ayahnya terduduk lemah. Si Bungsu bangkit. Merogoh kantong. Mengambil sebungkus kecil ramuan. Mengeluarkannya, kemudian dia mendekati Siti.

”Menunduklah. Saya mempunyai obat luka yang manjur...” katanya.

Siti menurut. Si bungsu menaburkan obat ramuan yang dia bawa dari gunung Sago itu ke luka di punggung gadis tersebut. Ramuan itu mendatangkan rasa sejuk dan nyaman di luka itu.

”Terima kasih...” gadis itu berkata perlahan.

Luka itu sengaja dibuat oleh si Bungsu dengan samurainya. Agar kelihatan bahwa memang ada perkelahian dalam kedai itu. Demikian pula samurai Jepang itu dia lumuri dengan darah. Kemudian dia juga menaburkan bubuk obat itu di luka yang dia buat di dada ayah Siti. Lelaki itu menatap padanya.

”Maaf saya harus berbuat ini pada Bapak...” katanya perlahan.

”Kami yang harus berterima kasih padamu, Nak. Saya dengar engkau tadi menanyakan Tai-i (Kapten) Saburo Matsuyama pada serdadu-serdadu itu...”

Si Bungsu tertegun.

”Benar. Bapak mengenalnya?”

”Tidak ada yang tak kenal padanya Nak....”

”Dimana dia sekarang?”

”Nampaknya ada sesuatu yang amat penting hingga kau mencarinya....”

Hampir saja si Bungsu menceritakan apa yang telah menimpa keluarganya. Namun dia segera sadar, hal itu tak ada gunanya.

”Ya, ada sesuatu yang penting yang harus saya selesaikan...”

”Balas dendam?”

Kembali anak muda itu tertegun. Menatap dalam-dalam pada lelaki tua itu.

”Engkau menuntut balas kematian ayah, ibu dan kakak perempuanmu?”

Ucapan lelaki itu lagi-lagi membuat si Bungsu terdiam.

”Tidak perlu kau sembunyikan padaku siapa dirimu Nak. Setiap orang di sekitar Gunung Sago ini mendengar tentang kematian ayahmu. Saya mengenalnya. Kami dulu sama-sama belajar silat Kumango. Dan semua orang juga mengetahui, bahwa anak lelakinya bernama si Bungsu...”

Anak muda itu menunduk.

”Apakah bapak mengetahui di mana Saburo kini?”

”Beberapa hari yang lalu masih di sini. Tapi tempat yang mudah mencari opsir Jepang adalah di Lundang...”

”Di Lundang?”

”Ya.”

”Di tepi batang Agam itu?”

”Ya. Di sanalah.”

”Ada apa di sana. Apakah mereka mendirikan markas di sana?”

”Tidak. Di sana tempat mereka memuaskan nafsu dengan perempuan-perempuan...”

”Tempat pelacuran?”

”Begitulah..”

”Terima kasih. Saya akan mencarinya ke sana.”

”Marilah kita naik. Besok kau teruskan perjalananmu.”

”Terima kasih Pak. Saya harus pergi sekarang.”

”Tapi hari hujan dan malam telah larut.”

”Tidak apa. Saya biasa berjalan dalam suasana bagaimanapun.”

”Tapi bukankah engkau disuruh datang besok ke markas Kempetai?”

”Ah, saya kira biar Bapak saja. Katakan saya sudah pergi.”

“Engkau benar-benar tak ingin bermalam di sini agak semalam?”

”Terima kasih pak...”

Dia kemudian menoleh pada Siti yang masih duduk. Gadis itu menunduk.

”Terima kasih kopinya Siti. Engkau pandai membuatnya. Saya belum pernah meminum kopi seenak itu....”

Siti melihat padanya. Ada air menggenang di pelupuk matanya

”Benar kopi itu enak?” tanya gadis itu perlahan.

”Benar...”

”Saya lupa memberinya gula, karena ketakutan...”

Gadis itu berkata sambil bibirnya tersenyum malu.

”Ya, ya. Itulah justru kenapa kopinya jadi enak. Nah, selamat tinggal.”

Dia genggam tangan Siti sesaat. Kemudian melangkah keluar.

”Doa kami untukmu Nak...”

”Terima kasih Pak...”

”Kalau suatu hari kelak kau lewat di sini, singgahlah...”

”Pasti saya akan singgah...”

Dan dia lenyap ke dalam gelap yang basah di luar sana. Siti menangis ketika dia pergi. Ayahnya menarik nafas panjang.


***


Di Padang, Presiden Republik Indonesia Soekarno baru saja tiba dari pengasingannya di Bengkulu. Dia sedang dalam pembuangan di Bengkulu oleh Pemerintah Belanda tatkala Jepang masuk ke sana. Ketika Jepang sudah sampai di Bangka, Jepang memberitahu Belanda melalui telpon ke Bengkulu. Tentara di Bengkulu menyerah. Tapi Presiden Soekarno mereka bawa ke Padang. Sebab Belanda menyangka Minangkabau masih belum jatuh ke tangan Jepang. Ternyata Kota Padang sudah diduduki Jepang.

Pimpinan bala tentara Jepang di Sumatera yang berkedudukan di Pasenggrahan Panorama Bukit Tinggi di bawah pimpinan Tei Sha (Kolonel) Fujiyama, mengirim seorang Chu Sha (Letkol) untuk menemui Soekarno di Padang. Kepada Soekarno bala tentara Jepang sangat berlaku hormat. Fujiyama mengharapkan agar menyampaikan pada pemuka-pemuka dan pimpinan masyarakat untuk tetap tenang. Menjaga ketertiban. Jepang datang untuk membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan.

Dalam suatu pertemuan dengan pimpinan dan pemuka masyarakat Minang, Soekarno menyampaikan pesan Fujiyama tersebut. Karena tak ada jalan lain, maka pemimpin-pemimpin Indonesia menerima anjuran Fujiyama tersebut. Sebagai salah satu bukti bahwa Jepang bermaksud baik pada Indonesia, maka seluruh balatentara Belanda yang berasal dari bangsa Indonesia, yaitu yang berada dalam KNIL, dibebaskan oleh Jepang. Sementara tentara Belanda asli dipenjarakan.

Di Padang tahanan tentara Belanda itu ditempatkan di Asrama Militer Ganting. Di Padang Panjang, di Bukittinggi di Payakumbuh juga ditahan di asrama-asrama militer dengan pengawalan yang ketat. Kemudian tentara-tentara Belanda dibawa dengan truk ke Sijunjung. Menjadi romusha membuat jalan kereta api dari Sijunjung ke Pekanbaru. Sebahagian lagi dari ribuan tentara Belanda itu dikirim ke Logas mengerjakan tambang emas yang diusahakan Jepang.

Jepang mulai mendirikan kubu-kubu pertahanan di sepanjang pantai Padang dan di berbagai tempat strategis di seluruh kota di Minang. Kubu pertahanan mereka sangat tangguh. Dibuat dengan beton masif yang tak mempan di bom ataupun dinamit. Lalu Jepang membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR).

Sementara rakyat yang dijadikan tentara dipersenjatai. Mereka dilatih dalam kemiliteran dengan disiplin baja. Di Padang, untuk menyusun BKR ini ditugaskan pada Syo Sha (Mayor) Akiyama. Di Pariaman, Bukittinggi, Padangpanjang dan Payakumbuh juga dibentuk BKR yang diambil dari pemuda-pemuda Indonesia asli. Semuanya ini, kubu-kubu dan benteng pertahanan, serta BKR, diadakan untuk menghadapi serangan Sekutu yang diduga akan menyerang Jepang di Indonesia.

Malam itu udara kelihatan cerah. Beberapa orang perempuan kelihatan duduk di atas bangku-bangku yang dibuat berjejer di bawah pohon cery di tepi Batang Agam. Di tempat-tempat yang remang, beberapa serdadu dan opsir Jepang duduk mengelilingi meja bersama perempuan tersebut. Mereka minum kopi dan teh serta makan kue-kue dan bercerita hilir mudik. Di luar keadaan kelihatan sopan. Namun di dalam rumah-rumah papan yang bercat putih di tepi Batang Agam itu beberapa serdadu tengah bersimbah peluh dalam bilik-bilik mesum.Tertawa cekikikan terdengar di antara pekik-pekik manja. Itulah kampung kecil Lundang. Kampung kecil di mana kaum lelaki Jepang memuaskan nafsunya bersama perempuan-perempuan malam. Setiap hari yang datang kemari adalah serdadu atau opsir Jepang. Orang Indonesia hampir tak pernah terlihat. Kalaupun ada, maka mereka segera saja bisa ditebak berasal dari dua golongan. Pertama, mata-mata pihak Jepang. Kedua, kaum parewa yang suka berjudi dan pemabuk yang tak lagi menghiraukan nilai-nilai masyarakat. Sesuai predikat mereka yang parewa, mereka umumnya kasar-kasar dan menakutkan.

Tapi senja ini perempuan-perempuan di Lundang itu merasa surprise bercampur heran. Sebab kesana datang seorang anak muda. Meskipun wajahnya murung, namun tak dapat disangkal bahwa dia seorang yang gagah. Sinar matanya yang kuyu justru membuat perempuan-perempuan kembang di sana menjadi tertarik. Sejak senja tadi dia ”dikawal” oleh dua perempuan. Untuk ukuran disana, kedua perempuan itu adalah perempuan pilihan. Biasanya mereka hanya mau melayani opsir-opsir berpangkat tinggi. Paling rendah yang berpangkat kapten. Tak sembarangan saja mereka mau melayani orang.

Senja ini keduanya merasa perlu melayani anak muda itu. Soalnya belum pernah mereka dikunjungi urang awak, gagah pula. Mereka bercerita perlahan hilir mudik. Bercerita di bawah bayangan pohon cery. Minum teh manis dan makan pisang goreng. Anak muda itu kelihatannya bukan dari golongan orang berada. Pakaiannya sederhana saja. Pakai baju gunting Cina, celana Jawa dengan kain sarung menyilang dari bahu kiri ke kanan. Di tangannya ada sebuah tongkat kayu. Kalau saja dia pakai Saluak, maka orang akan percaya bahwa pastilah dia seorang penghulu. Gayanya memang mirip seorang kepala kaum.

”Nampaknya uda tengah menanti seseorang....”, perempuan yang berkulit hitam manis, berhidung mancung dengan mata yang gemerlap dan menarik, berkata.

Dia memperhatikan anak muda itu beberapa kali melirik ke gerbang setiap ada orang yang datang.

”Ada teman yang akan datang?” perempuan itu bertanya lagi.

”Ya, saya menanti seseorang.”

”Perempuan?”

”Tidak, bukankah kalian sudah ada?”

”Ya. Tapi kenapa sejak tadi hanya duduk saja di sini? Ayolah ke rumah...”.

Perempuan yang satu lagi, yang berkulit kuning dan dan bertubuh montok, berkata sambil menarik tangan anak muda itu. Umur kedua perempuan itu barangkali tak lebih dari 22 tahun. Masih terlalu muda.

”Tunggulah. Sebentar lagi mungkin dia datang. Tapi bagaimana saya akan ke rumah, kalian berdua.”

”Tak jadi soal. Bisa gantian toh Uda?” ujar perempuan hitam manis itu sambil mengerdipkan matanya yang indah.

Muka anak muda itu jadi merah. Dia melirik ke meja di seberang sana, pada beberapa serdadu dan opsir Jepang yang sedang minum. Rasanya dia mengenal dua orang di antara mereka. Dia coba mengingat-ingat.

”Bagaimana? Ayolah ke rumah!”

Perempuan cantik berkulit kuning itu merengek lagi sambil menarik tangannya. Saat itulah salah seorang dari serdadu Jepang yang duduk tak jauh darinya berdiri. Berjalan menuju meja di mana mereka duduk. Tubuh Jepang itu berdegap. Dia menatap pada kedua perempuan yang ada di samping anak muda itu.

”Hmmm... nona mari ikut aku...” katanya sambil memegang tangan si hitam manis. Perempuan itu menyentak tangannya.

”Maaf Kamura, saya sedang ada tamu...”, ujarnya mengelak.

Jepang yang bernama Kamura dan berpangkat Gun Syo (Sersan Satu) itu menyeringai. Menatap pada tamu yang disebutkan si hitam manis tersebut. Ketika yang dia lihat tamunya itu hanyalah seorang lelaki tanggung, pribumi pula, dia tertawa. Memperlihatkan seringai yang memuakkan.

”Ha, kalian orang ada berdua. Ada si hitam ada si kuning. Kamu jangan serakah ya. Saya bawa yang hitam manis ini...”

Jepang itu berkata sambil tetap menyeret tangan si hitam manis. Tak ada daya perempuan itu selain menuruti kehendak Kamura. Teman-temannya tertawa dan bertepuk tangan. Sementara itu si cantik berkulit kuning segera merapatkan duduknya dan memegang lengan anak muda itu erat-erat.

”Cepatlah kita ke bilik. Nanti datang yang lain membawa saya...”, perempuan itu merengek lagi.

Anak muda itu, yang tak lain dari pada si Bungsu tak mendengar ucapan si cantik ini. Pikirannya tengah melayang. Dia coba mengingat seringai buruk Gun Syo Kamura tadi. Dimana dia pernah melihatnya? Tiba-tiba kini dia ingat. Bukankah Jepang itu yang menghadangnya ketika dia akan mendekati ayah, ibu dan kakaknya sewaktu penyergapan di rumah mereka dulu? Dia ingat peristiwa itu. Ayah, kakak dan ibunya baru saja diperintahkan untuk keluar dari persembuyian di atas loteng oleh Kapten Saburo.

Ketika mereka muncul di tangga rumah Gadang, si Bungsu yang berada di antara kerumunan penduduk berlari ke depan sambil memanggil ayah dan ibunya. Tapi seorang serdadu Jepang bertubuh kurus menghadangnya. Dia berhenti, menatap pada serdadu kurus itu. Serdadu itu menyeringai. Dia tertegak ngeri di tempatnya. Nah, serdadu itulah tadi yang membawa si hitam manis ke atas. Dia tandai seringainya itu. Tadi dia lupa karena serdadu itu tubuhnya tidak lagi kurus seperti belasan purnama yang lalu. Kini tubuhnya besar berdegap. Senang nampaknya dia di Lima Puluh Kota ini.

”Kita masuk?” si cantik kuning itu gembira melihat dia tegak.

Si Bungsu menatapnya.

”Ya. Kita masuk..” katanya.

Dengan gembira si kuning itu memegang tangannya. Kemudian membimbingnya ke atas rumah di mana Kamura tadi juga masuk bersama kawannya si hitam manis. Di dalam kamar, si kuning cantik itu mendudukkan anak muda berwajah murung itu di tempat tidurnya yang beralaskan kain satin dan berbau harum.

”Duduklah. Mau minum apa?” tanyanya dengan manja.

Si Bungsu menatap perempuan itu. Menatapnya diam-diam.

”Jangan memandang seperti itu Uda. Hatiku luluh uda buat....”, katanya manja sambil memegang kedua belah pipi si Bungsu.

”Kulihat engkau mencari seseorang kemari...” perempuan itu berbisik.

Si Bungsu masih duduk diam.

”Kulihat engkau mengenali dan menaruh dendam pada Jepang yang tadi membawa temanku si hitam itu....” perempuan itu berkata lagi perlahan.

Si Bungsu mengagumi ketajaman penglihatan perempuan ini.

”Di balik matamu yang sayu, di balik wajahmu yang murung, tersimpan lahar gunung berapi. Yang akan memusnahkan orang-orang yang kau benci. Sesuatu yang sangat dahsyat dalam hidupmu pastilah telah terjadi. Sehingga engkau menyimpan demikian besar gumpalan dendam di hatimu. Apakah keluargamu dilaknati oleh Jepang?”

Si Bungsu benar-benar terkejut mendengar ucapan perempuan ini. Dia menerkanya seperti membaca halaman sebuah buku.

”Upik, siapa namamu?” tanyanya sambil menatap perempuan cantik itu.

”Tak perlu engkau ketahui. Setiap lelaki yang datang kemari menanyakan namaku. Kemudian mereka akan melupakannya.”

”Katakanlah, siapa namamu!”

”Mariam...”

”Mariam?”

”Ya”

”Apakah itu namamu yang sebenarnya?”

”Tak ada yang harus kusembunyikan. Sedang kehormatan saja di sini diperjual belikan. Apalah artinya menyembunyikan sebuah nama.”

”Maaf. Tapi engkau menerka diriku seperti sudah demikian engkau kenali...”

”Bagi orang lain mungkin sulit buat menebak siapa dirimu. Tapi tidak bagiku. Aku kenal apa yang ada dalam hatimu, karena aku juga mengalami hal yang sama...”

”Keluargamu dibunuh Jepang?”

”Tepatnya suamiku...”

”Suamimu?”

”Ya. Aku yatim piatu. Ibu dan ayah meninggal setelah aku menikah dan suamiku di bunuh Jepang karena tak mau ikut ke Logas. Kemudian diriku mereka nistai. Tak cukup hanya demikian, aku mereka seret kemari. Pernah kucoba untuk melarikan diri, tapi negeri ini tak cukup luas untuk lepas dari jangkauan tangan Kempetai. Akhirnya aku diseret lagi kemari untuk memuaskan nafsu mereka. Di sini aku... hidup dan menanti mati.”

Perempuan itu mulai terisak. Si Bungsu jadi luluh hatinya. Perempuan secantik ini, yang barangkali sama cantiknya dengan Renobulan, bekas tunangannya dulu. Atau dengan Saleha. Atau dengan Siti. Kini terdampar di Lundang ini. Penuh noda. Dibenci orang kampungnya. Namun tahukah mereka apa penyebabnya maka dia sampai kemari?”

”Mariam. Dimana kampungmu...” tanyanya sambil memegang bahu perempuan itu. Perempuan itu menghapus air mata. Berusaha menahan tangis.

”Saya berasal dari Pekan Selasa...”, jawabnya perlahan.

”Engkau kenal siapa yang menistai dirimu dan yang membunuh suamimu, Mariam?”

”Jepang yang tadi membawa teman saya, yang berkulit hitam manis itu salah seorang di antara mereka....”

”Maksudmu Jepang yang tadi dipanggil dengan nama Kamura oleh temanmu itu?” Mariam mengangguk.

”Jahanam. Dia jugalah yang dulu ikut membantai kedua orang tuak dan kakakku. Dia yang menerjangku ketika aku lari ke arah ayahku...” desis si Bungsu.

”Siapa lagi yang kau kenal Mariam?”

”Saya tak ingat. Tapi komandannya adalah Saburo...” Si Bungsu tersentak.

”Saburo?” katanya mendesis tajam.

”Ya, Saburo! Kenapa...?” Mariam tertegun kecut melihat sikap si Bungsu.

”Dialah yang telah membunuh ayah, ibu dan memperkosa kakakku sebelum dia dibunuh. Kemudian dialah yang membabat punggungku dengan samurainya. Jahanam. Di mana dia kini...?!”

Suara Si Bungsu hampir saja tak bisa di kontrol jika tidak cepat-cepat mulutnya ditutup dengan tangan oleh Mariam.

”Tenanglah. Kamura di sebelah. Saya tak tahu dimana Saburo. Sudah lama dia tak datang kemari. Padahal biasanya tiap malam dia pasti datang...”

”Mariam. Apakah engkau tak berniat untuk meninggalkan tempat ini?”

”Kemana?”

”Kemana saja. Asal jangan kembali ke tempat ini. Barangkali kau bisa hidup dengan tenang si suatu tempat. Dengan seorang suami....”

Mariam mulai lagi terisak.

”Siapa yang tak menginginkan kehidupan yang tentram dengan seorang suami? Itulah dulu yang kuinginkan ketika kawin dengan pemuda yang kucintai sampai Saburo membunuhnya. Dan kini, siapa lagi lelaki yang mau menerimaku sebagai isterinya?”

”Tapi engkau juga tak mungkin di sini terus Mariam...”

”Lalu akan kemana aku?”

”Carilah suatu tempat yang jauh dari sini. Mungkin ada lelaki yang mencintaimu. Engkau masih muda dan .... cantik....”

”Takkan ada yang mau, apalagi bila mereka tahu siapa aku...”

”Engkau belum mencobanya. Jangan menyerah sebelum kau coba....”

”Baiklah, akan kucoba sekarang. Aku mau meninggalkan tempat ini. Aku mau pergi kalau kau menikahiku. Apakah kau bersedia menjadi suamiku?”

Si Bungsu tertegun. Dia tak menduga perempuan ini akan berkata begitu. Melihat dia tertegun, Mariam berkata lagi.

”Jangan coba mengelak dengan mengatakan bahwa engkau telah punya isteri. Saya mengenal lelaki yang telah kawin dengan yang masih bujangan. Nah, maukah engkau menikah denganku?”

Perempuan itu menatap nanap padanya. Si Bungsu terdiam, peluh mulai membasai tubuhnya. Mula-mula dia masih bisa menatap Mariam. Tapi kemudian dia tertunduk. Mariam terisak. Menelungkup di tilam tipis di pembaringannya. Si Bungsu jadi serba salah. Perlahan dia pegang bahu perempuan itu, mendudukkannya, kemudian tiba-tiba Mariam memeluknya sambil menangis.

”Diamlah... jangan menangis..” ujarnya pelan.

Ketika perempuan itu masih terisak, perlahan di pegang wajahnya. Entah apa yang mendorongnya, tahu-tahu pipi perempuan itu diciumnya. Lalu.. dengan lembut ciumannya pindah ke bibir perempuan itu. Perempuan itu sesaat masih terisak. Kemudian terdiam, lalu membalas ciuman si Bungsu. Tapi kemudian tiba-tiba dia melepaskan bibirnya dari bibir si Bungsu. Si Bungsu kaget dan malu.

”Aku perempuan pertama yang kau cium, Uda?”

Mariam bertanya dengan suara gemetar. Si Bungsu ingin mengangguk. Namun anggukannya tak jadi. Ingin menggeleng, tapi dia tak bisa berdusta. Perasaan malu dan takut bercampur aduk.

”Terima kasih Uda. Engkau membuat aku bahagia. Akan kukenang ciuman ini,” Mariam berkata sambil menghapus air matanya. Si Bungsu menarik nafas lega, kemudian berkata pelan.

”Menghindarlah dari rumah ini Mariam. Akan terjadi huru-hara sebentar lagi...”

”Sudah lama aku memimpikan melihat seorang Minangkabau melawan Jepang. Membunuhnya, berkelahi dengan mereka. Mungkin mereka akan mati. Namun di hatiku, mereka tetap seorang pahlawan. Sudah lama aku ingin melilhat hal itu terjadi. Betapa seorang lelaki Minangkabau tegak dengan perkasa menghadapi samurai Jepang yang zalim itu. Dan kini barangkali aku akan melihatnya. Kenapa aku harus pergi? Tidak, aku akan berada di sini sampai huru hara itu usai, Uda...”

Si Bungsu tak lagi berkata. Dia tegak dan melangkah. Kemudian membuka pintu. Berbelok ke kanan. Menerjang pintu kamar dimana Kamura tadi masuk dengan perempuan berkulit hitam manis itu.

Kamura yang tadi membawa si Hitam Manis kini tengah bermandi peluh dalam kamar tersebut. Si Hitam Manis juga bermandi peluh. Tubuhnya yang tak berkain tertelentang. Sebelah kakinya terjuntai kebawah tempat tidur. Dan Kamura sedang duduk di lantai di antara kaki si Hitam Manis ketika tiba-tiba pintu kamarnya dihantam hingga terbuka.

Kamura terlompat bangun. Si Hitam Manis hanya menelungkupkan tubuhnya. Dia menyangka yang masuk adalah kawan Kamura. Sebab sudah biasa Jepang-Jepang itu bergantian masuk kesebuah bilik bila temannya telah puas. Namun kini yang masuk bukanlah tentara Jepang, melainkan si Bungsu. Kamura memaki berang melihat yang masuk ternyata seorang Melayu.

”Bagero! Masuk siapa kemari yang kamu berani, he!? ” bentaknya terbalik-balik.

Padahal yang ingin dia ucapkan adalah ”Siapa kamu yang berani masuk kemari, he”. Mata si Bungsu menyipit. Mulutnya terkatup rapat. Kemudian dari sela bibirnya terdengar suara mendesis:

”Aku anak Datuk Berbangsa dari kampung Situjuh Ladang Laweh. Yang kalian bunuh dua tahun yang lalu. Dimana Saburo kini? ”

Tanpa lebih dahulu memakai celananya. Kamura menerjang si Bungsu. Namun si Bungsu sudah siap. Dia mengelak. Tubuh Kamura yang telanjang bulat itu menerpa pintu. Kemudian terpelanting ke ruangan tengah. Si Hitam Manis terpekik. Di ruang tengah, dua orang serdadu Jepang yang tengah keluar jadi tertegun. Kemudian tertawa terbahak-bahak melihat Kamura yang telanjang bulat itu. Mereka menyangka Kamura mabuk. Namun Kamura dengan cepat menyentak samurai di pinggang seorang perwira, dan menerjang kembali masuk kekamar dimana tadi si Bungsu tegak. Tapi tubuhnya segera tercampak lagi keluar kamar. Dan kali ini dengan tubuh hampir terpotong dua pada dadanya!

Perempuan-perempuan yang ada dalam rumah petak itu pada terpekik. Empat orang sedadu Jepang segera naik menghambur keatas. Di pintu bilik si Hitam Manis itu, tegak si Bungsu dengan sebuah tongkat di tangannya. Dia tegak dengan tenang. Menatap pada enam Jepang yang kini tegak pula menatapnya. Mereka bertatapan. Dengan sudut matanya si Bungsu melihat di sebelah kirinya, agak jauh di tepi dinding, tegak Mariam di antara beberapa temannya. Perempuan itu menatap padanya dengan sinar mata penuh kebanggaan. Salah seorang dari perwira Jepang itu segera saja mencabut pistol dan menembakkannya kearah si Bungsu.

Si Bungsu menggelinding di lantai. Gerakkan Lompat Tupai! Peluru perwira itu menerpa tempat kosong. Dua kali menggelinding dengan cepat, akhirnya ketika dia tegak samurainya bekerja. Perwira itu terpekik. Tangannya yang tadi menembakkan pistol putus hingga siku. Sebelum pekiknya berakhir, samurai di tangan si Bungsu bekerja lagi. Kepalanya belah dua! Suasana tiba-tiba jadi sepi. Hening mencekam! Si Bungsu tegak di depan kelima serdadu Jepang itu dengan wajah yang sedingin batu es.

”Saya si Bungsu. Saya mencari Kapten Saburo. Dimana dia? ”

Suaranya terdengar tanpa emosi. Namun Jepang-Jepang itu terkenal sebagai orang yang tak mengenal takut sedikitpun. Dua orang segera maju dengan mempergunakan jurus-jurus karate. Namun Samurai si Bungsu segera bekerja. Kedua mereka roboh dengan leher hampir putus. Empat yang mati dalam waktu tak sampai lima menit.

”Kempetai datang!!” Mariam berteriak.

Dan saat itulah ketiga serdadu Jepang yang masih hidup maju serentak sambil menghunus samurai mereka. Tapi yang mereka hadapi adalah si Bungsu! Seorang lelaki yang telah bersumpah untuk takkan mati sebelum dendam keluarganya terbalas. Begitu serangan datang, dengan kecepatan yang tak terikutkan oleh mata samurainya berkelebat. Dua kali sabetan mendatar, menyebabkan dua Jepang yang ada di depan dan dikirinya rubuh dengan perut menganga. Kemudian sambil berputar setengah lingkaran dia menikamkan samurainya ke belakang. Jepang yang terakhir, mati tersate tentang dada kirinya. Sebuah Tikam Samurai! Persis seperti yang dipergunakan oleh Datuk Berbangsa di halaman rumah gadangnya dahulu. Saat dia menyentak samurainya, Jepang itupun rubuh.

”Lewat pintu belakang!” dia dengar suara perempuan berseru.

Dia segera mengenali suara itu sebagai suara Mariam. Suara sepatu Kempetai terdengar menjejak tangga di depan. Si Bungsu tegak. Kemudian menatap pada perempuan-perempuan itu. Dia segera menampak Mariam.

”Terima kasih Mariam. Saya akan balaskan dendammu.” dan Kempetai pertama muncul di pintu tengah. Si Bungsu menyelinap kebelakang. Punggungnya kelihatan oleh Kempetai itu.

”Bagero! Berhenti!” teriaknya sambil menembakkan pistol.

Namun si Bungsu telah lenyap. Tiga Kempetai segera memburu ke belakang. Di belakang mereka disambut oleh gelapnya malam. Jauh di bawah sana, deru arus Batang Agam terdengar menderu menegakkan bulu roma. Jepang-Jepang itu pada plengak-plenguk mencari kalau-kalau lelaki yang baru saja melarikan diri itu bersembunyi di sekitar tempat tersebut. Tapi si Bungsu telah terjun dan lenyap dalam arus Batang Agam di bawah sana. Baginya berenang dan menyelam bukan lagi hal baru. Berenang di Batang Agam ini memang kegemarannya sewaktu masih muda dulu.

Keenam Kempetai yang baru datang itu tertegun tatkala menyaksikan tubuh teman mereka terhantar malang melintang di dalam rumah itu. Dari bekas luka di tubuh mereka jelas kematiannya diakibatkan senjata tajam. Seperti samurai atau pedang. Namun Kamura dan beberapa temannya ini adalah seorang pesilat Samurai yang tangguh. Siapa yang telah melumpuhkan mereka?

”Siapa itu orang tadi?” tanya salah seorang kearah kerumunan perempuan-perempuan di ruangan tersebut.

”Seorang Jepang.”

Terdengar suara dari kerumunan perempuan-perempuan itu. Dan yang bicara itu adalah Mariam. Dia mencubit teman di sampingnya sebagai isyarat. Cubitan yang tak kelihatan itu segera saja dimengerti oleh temannya. Lalu perempuan muda yang dicubit itu angkat bicara.

”Ya. Nampaknya seorang tentara yang berpakaian seperti penduduk sini. Tadi sebelum terjadi perkelahian, dia kelihatan bicara akrab dengan Kamura. Tapi tak lama setelah dia menyusul masuk, terjadilah perkelahian ... ”.

Kempetai yang bertanya itu mengerutkan kening. Tadi dia memang melihat sesosok tubuh menyelinap kebelakang. Tapi tak jelas siapa orangnya. Mereka lalu menanyai perempuan-perempuan itu dengan gencar. Para perempuan itu, meskipun mereka hidup melacurkan diri namun memiliki rasa cinta Tanah Air yang luar biasa, yang barangkali tak seberapa dimiliki oleh perempuan-perempuan yang bukan pelacur. Mereka seperti sepakat, seiya sekata untuk membenarkan dan menuruti cerita bohong yang mula pertama diucapkan oleh Mariam. Dan para Kempetai serta pimpinan Jepang di Payakumbuh, tak bisa berbuat selain mempercayai hal itu. Sekurang-kurangnya buat sementara.

Sebab siapa diantara penduduk pribumi yang bisa memainkan Samurai hingga sanggup mengalahkan Kamura dan seorang perwira lainnya serta empat teman mereka? Tak mungkin ada pribumi yang bisa. Dan kalaupun bisa, takkan mungkin mempunyai keberanian untuk menyerang serdadu Jepang. Tak mungkin! Sebab pada saat ini, gerakan-gerakan tentara Indonesia belum begitu gencar mengadakan perlawanan pada Jepang. Baru berupa tindakan-tindakan sporadis. Jepang sendiri seperti tak punya kesempatan untuk mengusut peristiwa ini secara jelimet. Sebab dimana-mana, tidak hanya di Minangkabau, juga di seluruh Indonesia, mereka sedang sibuk membangun benteng pertahanan. Benteng-benteng pertahanan itu mereka bangun berupa lobang-lobang dari coran beton. Tersebar di seluruh kota, di tempat-tempat yang strategis, termasuk di sepanjang pantai. Musuh yang paling mereka khawatirkan untuk datang menyerang adalah Tentara Sekutu di bawah pimpinan Jenderal Mac Athur yang berkedudukan di Manila, Filipina.

Selain membuat benteng-benteng dalam bentuk lobang-lobang yang diperkukuh dengan beton cor yang tak mampu diruntuhkan dengan bom sekalipun, maka pusat suply senjata, dan benteng pertahanan secara besar-besaran mereka buat di Bukittinggi. Di kota ini, selain lobang-lobang pertahanan dari beton cor, mereka juga membuat terowongan yang silang siur di bawah kota. Terowongan yang sangat besar. Bisa dilalui Jeep masuk sampai jauh ke dalam. Untuk membuatnya mereka tinggal mengerahkan tentara Belanda yang tertawan yang disebut internir, dan para lelaki bangsa Indonesia. Ribuan orang dikerahkan membuat terowongan yang kelak dikenal sebagai terowongan maut.

Dia dinamai terowongan maut oleh karena seluruh pekerja yang ikut menggali terowongan itu tak satupun yang keluar hidup-hidup. Tak satupun! Semua mati di dalam terowongan itu. Kematian mereka memang disengaja oleh Jepang demi menjaga kerahasiaan terowongan itu. Terowongan itu kabarnya melintas di atas bangunan - bangunan fital. Di samping itu juga mempunyai pintu tembus ke tempat-tempat strategis di dalam maupun jauh di luar kota.

Menurut sementara cerita yang berasal dari tawanan yang tak sempat dibunuh, terowongan itu konon juga dibangun dari perut di bawah kota Bukittinggi tembus ke lapangan udara Gadut. Kemudian ke Balingka dan ke Anak Air. Terowongan sepanjang itu itu diperlukan Jepang untuk dua tujuan. Pertama, tempat menimbun berbagai macam logistik dan pertahanan Jepang di Sumatera untuk melawan tentara Sekutu. Setelah terowongan itu siap, pemusatan dan kedatangan persenjataan dari Sumatera Utara tak lagi melewati jalan biasa. Sampai di Gadut, perlengkapan itu lenyap begitu saja. Menurut cerita dari sana langsung masuk terowongan dan dipusatkan disuatu tempat di perut bumi di bawah kota Bukittinggi.

Dalam rencana strategisnya, jika Sekutu datang menyerang mereka akan bersembunyi di terowongan itu. Pada waktu tertentu mengadakan serangan mendadak ke kota. Di terowongan itu mereka mempunyai perbekalan baik makanan maupun persenjataan yang bisa menghidupi satu batalyon pasukan dengan kekuatan 1.000 orang selama setahun! Suatu penimbunan dan pemusatan suply yang tak tanggung-tanggung dalam sejarah Kemiliteran. Kedua, dalam keadaan sangat genting mereka bisa mempergunakan lapangan terbang gadut untuk melarikan diri dengan pesawat udara. Saat terowongan itu dibangun, pimpinan tertinggi balatentara Jepang di pulau Sumatera dipegang oleh Tei Sha (Kolonel) Fujiyama. Dia memilih menempatkan pusat komandonya di bekas kantor tentara Belanda beberapa puluh meter dari mulut terowongan yang sedang di bangun di Panorama. Pusat komando Fujiyama ini kelak dijadikan Museum ABRI di depan Tugu 17 Agustus di Panorama. Pintu terowongan juga dibangun di belakang kantornya. Dari sana, lewat terowongan yang berbelit dia bisa mencapai beberapa tempat di kota Bukittinggi. Seperti ke Jam Gadang, Benteng atau Kebun Binatang.
*******

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar anda tentang tulisan ini...

Mutiara Hati

"Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan bintang-bintang dan Dia juga menjadikan padanya matahari dan bulan yang bersinar" (QS. Al-Furqan 25 : 61)

Your System

IP
"Mohon maaf.. Lagi maintenance..."

Popular Posts