Balai Batu Sandaran berada dalam administratif Kecamatan Barangin Kota Sawahlunto di Sumatera Barat. Desa yang berada dalam bingkai budaya Nagari Kajai ini tereletak ± 15 Km dari pusat Kota Sawahlunto. Masyarakat Nagari Kajai (Desa Balai Batu Sandaran/BBS) masih kental menjaga nilai budaya local setempat. Berbagai atraksi seni budaya yang diwariskan nenek moyang sejak dahulunya sebagian besar masih terbina dan teraktualisasi hingga saat ini.
Sebagai bagian wilayah budaya Minangkabau. Desa Balai Batu Sandaran masih memiliki potensi kesenian dan atraksi budaya diantaranya adalah randai, salawat dulang, pidato adat, bakaru[1], dan juga silat atau Silek dalam sebutan popular Minangkabau.
Silek di daerah ini biasanya diajarkan secara turun temurun kepada anak kemenakan sebagaimana berlaku umumnya di Minangkabau. Sistim pengajaran silek dilaksanakan di sasaran (lokasi belajar Silat) setelah kegiatan mengaji selesai shalat isya hingga larut malam. Pada masa dahulu, terutama anak laki laki Minangkabau kalau sudah baligh tidur dan bersiosialisasi di Surau. Surau menjadi sarana dan media belajar banyak hal selain belajar agama.
Silat, dimasa lalu merupakan salah satu beladiri yang berkembang pesat di Minangkabau. Seni beladiri Silek di Minangkabau memiliki bebagai macam aliran. Salah satu aliran silat yang masih tumbuh dan berkembang di Desa Balai Batu Sandaran adalah Silek Taralak. Silat lainnya adalah seperti Silek Bungo, Silek Sitopuang Gadang, Silek Pangean, dan silek baruak.
Bapak Idrus Malin Parmato 57 tahun, selaku Tuo Silek di daerah Balai Batu Sandaran mengungkapkan, Silek Taralak masuk ke desa ini sekitar tahun 1920an. Kala itu ada seorang fakir (pakiah) yang belajar mengaji di daerah Tanjung Balik di Kabupaten Solok. Setiap hari Kamis ia datang berkeliling nagari Kajai untuk meminta sumbangan sukarela. Itulah caranya mencari kebutuhan hidup selama menuntut ilmu atau selama tinggal di Surau atau Mesjid. Ia berada bahkan selama beberapa hari di nagari Kajai. Selama berada disini, ia mengajarkan Silek Taralak ke para pemuda desa hingga hari Sabtu setiap minggunya. Namun siapa nama sang pakiah si guru silat itu tidak diketahui nama aslinya. Karena ia berasal dari daerah Pariaman para murid atau anak sasiannya memanggil dengan sebutan “Angku Pariaman”. Bapak Idrus, melanjutkan cerita asal muasal Silek Taralak di Balai Batu Sandaran ini. Angku Pariaman mengajarkan Silat Langkah Ampek beliau juga mengajarkan Silek Biso dan Silek Kapak yang merupakan bagian dari jurus andalan dan kebangaan bagi muridnya. Jurus itu diperoleh tentunya setelah menguasai menguasai seluruh bagian Silek Taralak tersebut.
“Dalam rencana strategisnya, jika Sekutu datang menyerang mereka akan bersembunyi di terowongan itu. Pada waktu tertentu mengadakan serangan mendadak ke kota. Di terowongan itu mereka mempunyai perbekalan baik makanan maupun persenjataan yang bisa menghidupi satu batalyon pasukan dengan kekuatan 1.000 orang selama setahun! Suatu penimbunan dan pemusatan suply yang tak tanggung-tanggung dalam sejarah Kemiliteran. Kedua, dalam keadaan sangat genting mereka bisa mempergunakan lapangan terbang gadut untuk melarikan diri dengan pesawat udara. Saat terowongan itu dibangun, pimpinan tertinggi balatentara Jepang di pulau Sumatera dipegang oleh Tei Sha (Kolonel) Fujiyama. Dia memilih menempatkan pusat komandonya di bekas kantor tentara Belanda beberapa puluh meter dari mulut terowongan yang sedang di bangun di Panorama. Pusat komando Fujiyama ini kelak dijadikan Museum ABRI di depan Tugu 17 Agustus di Panorama. Pintu terowongan juga dibangun di belakang kantornya. Dari sana, lewat terowongan yang berbelit dia bisa mencapai beberapa tempat di kota Bukittinggi. Seperti ke Jam Gadang, Benteng atau Kebun Binatang.”
Malam itu terang bulan. Benar-benar bulan purnama. Kota Payakumbuh kelihatan ramai oleh orang-orang yang keluar. Tapi di salah satu sudut kota, di rumah seorang Cina di kamar belakang, kelihatan berkumpul tiga orang lelaki. Mereka duduk bersila di atas tikar rotan. Udara dalam ruangan dipenuhi oleh bau sake dan candu. Diantara keenam lelaki itu ada tiga perempuan. Satu keturunan Cina, yang dua lagi peranakan India. Mereka duduk sambil bersandar atau dipeluk oleh Jepang yang duduk di tikar rotan itu.
Seorang Cina bertubuh gemuk berkepala botak mendatangi kelompok jantan dan betina itu. Dia datang dengan sebuah tabung bambu yang panjangnya sejengkal. Saat dia duduk segera saja Jepang-Jepang itu duduk mengitarinya. Uang dikeluarkan, dan mereka mulai main dadu. Cina gemuk itu adalah pemilik rumah di mana kini mereka berada. Kini dia bertindak sebagai bandar dalam judi dadu yang diadakan tersebut. Rumah Cina ini dikenal penduduk sebagai rumah kuning. Yaitu rumah pelacuran terselubung. Yang datang kemari khusus para perwira saja. Sebab di sini juga disediakan perempuan-perempuan pilihan. Salah satu dari perempuan itu adalah anak gadis Cina botak itu sendiri.
Anak gadisnya memang terkenal cantik dan bertubuh padat. Setiap perwira bisa memakainya dengan bayaran yang tak tanggung-tanggung tingginya. Selain tempat lacur dan tempat judi, pejuang-pejuang Indonesia juga sudah lama mencurigai rumah itu sebagai sebuah pusat mata-mata untuk pihak Jepang. Soalnya Cina itu sudah berdiam sejak lama di rumah tersebut. Ketika zaman penjajahan Belanda, dia sudah menjadi semacam kepercayaan orang Belanda pula. Kini ketika Jepang berkuasa, dia juga menjadi kepercayaan Jepang.
Pejuang-pejuang Indonesia sudah lama mengintai rumah tersebut. Namun kendati memiliki beberapa bukti, mereka tak dapat melakukan apapun. Apalagi kini dia mendapat perlindungan Jepang. Maka usaha pejuang-pejuang Indonesia untuk menangkap Cina ini tak pernah berhasil. Padahal beberapa orang pejuang yang tertangkap, diantaranya anak buah Mayor M yang berkedudukan di Piobang, disebabkan oleh Cina gemuk ini. Dia menyebar intelnya diantara penduduk pribumi dan perempuan-perempuan lacur. Bahkan tertangkapnya beberapa pejuang yang mencuri senjata di Kubu Gadang empat bulan yang lalu juga atas petunjuk Cina ini.
”Sudah datang dia?” seorang perwira Jepang yang berpangkat Lettu (Chu-I), bertanya sambil menambah uang taruhannya.
”Belum, mungkin sebentar lagi”, jawab Babah gemuk tersebut.
Mereka meneruskan main dadu. Tiba-tiba Chu-I itu tegak. Menatap pada ketiga perempuan yang ada dalam ruangan itu.
”Hei, mana Amoy ..?” tanyanya.
Ketiga perempuan itu menatap pada si babah gepuk yang sedang duduk main dadu. Si gepuk main terus, meraih uang di tikar yang dimenanginya.
”Mana Amoy gepuk?” tanya si Chu-I.
Si gepuk memberi isyarat dengan menggerakkan kepalanya ke arah kamar. Namun ketika Jepang itu akan tegak, si gepuk memberi isyarat meminta uang terlebih dahulu dengan menampungkan tangannya. Chu-I tersebut merogoh kantong dan menyerahkan beberapa lembar uang, kemudian melangkah kekamar yang dimaksud si babah gepuk.
Ketika dia baru sampai di depan pintu, pintu kamar itu terbuka, seorang Jepang yang juga berpangkat letnan keluar dengan menyeka peluh di lehernya. Mereka bertegur sapa sepatah dua. Sampai di dalam Jepang itu melihat Amoy anak babah gemuk itu sedang merapikan tempat tidur. Posisinya yang sedang membungkuk membelakangi pintu dengan handuk melilit tubuh, menampakkan pangkal pahanya dari belakang. Jantung Jepang itu berdebar kencang. Seperti orang kesurupan dia menyeruduk ke gadis bertubuh montok itu.
Di luar rumah Cina itu sejak tadi seorang lelaki kelihatan tegak. Dia seperti menanti sesuatu. Dan setelah lebih dari dua jam dia tegak di sana, barulah dia lihat dua orang lelaki mendekati rumah itu. Dia cepat-cepat melangkah mendekati kedua lelaki itu.
”Hei. Jumpa lagi kita ..! ” dia berkata pada kedua lelaki itu. Dan kedua lelaki itu berhenti. Menatap padanya. Dalam cahaya bulan, mereka segera mengenali orang yang menegur mereka itu.
”Hmm. Kau Bungsu ..!”
”Ya. Aku si Bungsu. Sudah lebih dua tahun kita tak bertemu ya Baribeh?”
Baribeh yang dulu pernah melanyau tubuhnya ketika mereka kalah berjudi di Surau bekas di kampungnya, tertawa menggerendeng.
”Tapi kudengar kau sudah mampus dihantam samurai Saburo.”
Baribeh yang pesilat itu berkata. Tubuh si Bungsu seperti jadi kaku mendengar nama Saburo disebut. Untung saja malam hari, hingga perobahan air mukanya tak kelihatan oleh Baribeh.
”Ah, itu cerita burung. Buktinya saya masih hidup. Apa perlunya Jepang membunuh saya. Hmm, ini si Jul ya?” Si Bungsu tersenyum pada lelaki juling yang dia sebut sebagai si Jul itu.
”Kalera!! Jangan ikut-ikutan waang memanggil saya dengan sebutan itu buyung. Kuremas mulut waang dengan cirik nanti ..!” ujar si Jul tersinggung. Sebab orang yang berani dan yang boleh memanggilnya dengan sebutan si Jul itu hanya pimpinannya, si Baribeh.
”Tenanglah Jul. Mungkin dia punya duit banyak seperti dulu. Hei Bungsu, apakah waang masih suka berjudi?”
”Akhirnya-akhir ini tidak lagi. Tak ada yang mau bertaruh besar. Percuma saja main. Menghabiskan waktu saja ”.
Baribeh menyikut si Jul perlahan. Si Jul tahu maksudnya, yaitu anak muda ini akan mereka jadikan korban lagi.
”Ah, saya jera main dengan kalian. Menang kalian ingin menerima, kalah tak membayar. Kalau sekedar tak membayar saja tak apa. Ini diri saya kalian lanyau. Itu membuat saya ngeri ..” ujar Bungsu.
Baribeh tertawa, memperlihatkan giginya yang merah karena sirih dan runcing-runcing seperti gigi tikus.
”Ahaaa .. jangan takut. Jangan takut. Di tempat ini aman. Ada orang Jepang dan Cina sebagai juri. Waang aman percayalah. Ayo. Ayooo ..!”
Si Bungsu semula seperti ragu dan takut. Tapi karena tangannya ditarik oleh Baribeh, akhirnya dia menuruti juga. Padahal dia telah menunggu kesempatan ini sejak lama.
Bukankah dulu, saat dia sadar dari pingsannya setelah dilanyau Baribeh dan dua temannya, setelah semua uangnya mereka sikat di surau bekas itu dia, bersumpah akan menuntut balas? Kini kesempatan itu datang.
Dia melangkah perlahan mengikuti Baribeh. Di belakangnya berjalan si Juling. Mereka memasuki rumah Babah gemuk itu. Babah yang kini tengah asyik bermain dadu dengan dua orang tentara Jepang yang anak gadisnya tengah dilanyau oleh tentara Jepang berpangkat Chu-i itu. Mereka melangkah terus ke dalam. Baribeh dan si Jul nampaknya sudah terlalu biasa di rumah ini. Mereka mengenal setiap penghuni dan sudut rumah itu. Ketika mereka muncul ditempat orang yang tengah berjudi dadu itu, si Babah berbisik pada salah seorang perwira Jepang didepannya:
”Ini mereka datang,” kemudian dia berseru pada Baribeh
”Hai Baribeh. Lama tak datang lagi. Mana saja ente pigi?”
”We pigi jauh. We ada bawa kabar baik, dan ada bawa kawan baik. Ini kawan mau main dadu sama babah ”.
Baribeh menjawab sambil menirukan gaya bicara babah gemuk itu. Babah gemuk itu menatap pada si Bungsu. Demikian pula kedua serdadu Jepang itu.
Kedua Jepang itu menatapnya dengan seksama. Sementara Babah gemuk itu hanya menatap sebentar. Namun si Bungsu, yang nyaris tiga tahun hidup di pinggang gunung Sago, bergaul dan mempelajari kehidupan mahluk yang ada di sana, terutama hewan buas agar tak mati dilapahnya, dapat menangkap pandangan yang ganjil maknanya dari tatapan mata si Babah yang sekejab itu. Dia tak dapat mengetahui dengan pasti, apa yang harus dia curigai dari tatapan si gemuk itu. Namun firasatnya yang tajam, yang dia bawa dari pengalaman hidup sekitar dua tahun di gunung Sago, memperingatkan bahwa kalau terjadi apa-apa, maka yang berbahaya dan harus diawasi adalah Babah gemuk yang kelihatan loyo itu.
Dengan pesan naluri demikian, dia lalu mengangguk kepada mereka. Kemudian duduk agak berjarak dari kedua Jepang tadi. Baribeh dan temannya si Juling itu juga mengambil tempat duduk menghadapi si Babah. Ketiga mereka yang baru datang itu belum segera bertaruh. Mereka hanya duduk memperhatikan permainan yang sedang berlangsung.
Si Baribeh merogoh kantong. Mengeluarkan sebuah bungkusan. Kemudian mengeluarkan semacam tembakau, tapi agak kasar. Menggulungnya besar-besar, kemudian menghirupnya seperti mengisap cerutu. Kedua perwira Jepang yang tengah berjudi itu mengangkat kepala mencium bau asap yang dihembuskan oleh si Baribeh.
"Hmm. Candu. Candu nomor satu ” ujar yang seorang
Salah seorang diantara mereka lalu meraih bungkusan si Baribeh. Menggulungnya besar–besar. Dan menghisapnya. Temannya juga ikut meniru. Kemudian si Juling. Mereka menghisap candu itu dengan ni’matnya.
”Siap ..?”
Babah gemuk itu bertanya pada kedua Jepang yang tengah kesedapan itu sambil mengangkat bambu di tangannya.
”Ayo kita main” ujar seorang Jepang pada Baribeh yang kemudian menggamit si Jul dan Bungsu untuk ikut memasang taruhan
”Mulailah ..”
Jepang yang berkepala botak dan bertubuh kurus berkata sambil tetap menghisap candunya. Si Bungsu melihat Babah gemuk itu mengambil tiga buah dadu dari piring yang tertelentang di tikar. Kemudian memasukkan kedalam bambu yang panjangnya lebih dari sejengkal itu. Si Bungsu memperhatikan jari-jari tangan Babah. Aneh, Cina itu bertubuh gemuk dengan perut buncit. Namun jari-jari tangannya tidak selaras dengan tubuhnya yang subur itu.
Biasanya orang-orang gemuk jari jemarinya pastilah bulat-bulat gemuk pula. Tapi jari-jari Babah ini kelihatan langsing dan panjang-panjang. Berbeda dengan Cina-Cina tua lainnya, yang biasanya membiarkan kukunya tak terawat, kuku Babah ini kelihatan dipepat bersih.
Kini dia tengah mengguncang bambu yang berisi dadu itu. Terdengar bunyi dadu saling berputar dan beradu dalam bambu tersebut. Empat kali putaran cepat, tiba-tiba bambu itu ditelungkupkannya di atas piring. Dalam waktu yang sangat singkat, terdengar ketiga buah dadu itu jatuh ke piring. Babah itu melepaskan tangannya dari bambu. Dan bambu itu tertegak di atas piring menutupi ketiga butir dadu di dalamnya.
Baribeh memasang taruhannya pada angka-angka dua, tiga dan empat. Dia memang bertaruh begitu. Main tebak dibanyak nomor. Biasanya salah satu pasti kena. Sementara si Bungsu hanya memasang disatu nomor. Dan dalam empat kali meletakkan taruhan tadi, dia tetap bertahan memasang disatu nomor saja. Kinipun dia bermaksud begitu, mengambil uang dari kantongnya. Kemudian meletakkan di angka satu. Si Juling memasang dinomor empat, yaitu diangka pasangan Baribeh.
Babah gemuk itu mengangkat bambu yang menutupi dadu.
Satu! Ya, ketiga dadu itu menunjukkan angka satu di atasnya. Baribeh tercengang.
Juling tercengang. Perwira Jepang yang satu itu, yang kali ini tak ikut memasang taruhan juga tercengang. Si Bungsu ternyata menebak dengan tepat dan memenangkan taruhan. Babah gemuk itu tersenyum. Kemudian membayar pada si Bungsu sebanyak enam kali lipat dari taruhannya yang dipasang. Lambat-lambat dia memasukkan lagi buah dadunya. Kemudian memutar dadu dalam bambu itu. Setelah lima kali putaran cepat, bambu berisi dadu itu dengan cepat dia telungkupkan. Kembali terdengar suara mengerincing ketika buah dadu jatuh di atas piring di bawah telungkupnya potongan bambu.
Si Bungsu memasang teliganya. Kalau dulu sebelum ”mengungsi” selama dua tahun ke gunung dia selalu menang main dadu adalah berkat pandainya dia main curang, maka kini lain halnya. Dulu dialah yang memegang dadu. Dan selalu dadunya hanya sebuah.
Dia bisa memainkan dadu itu. Kini dengan tiga buah dadu, dia mengandalkan pendengarannya. Kalau saja dia tak pernah berlatih di gunung Sago, mungkin kini dia akan kalah terus. Sebab babah gemuk itu lihainya bukan main pula. Tapi kini dia dibekali dengan pendengaran setajam pendengaran macan tutul. Dengan jelas dia mendengar jatuhnya buah dadu itu kepiring. Dia juga bisa membedakan bunyi angin yang tertekan, tergantung dari banyak atau sedikitnya lobang pada dadu itu yang menghadap ke bawah.
Dadu yang keras bunyi jatuhnya, pastilah yang sedikit lobang yang menghadap ke bawah. Sebab pada lobang-lobang itu sedikit angin yang tertahan. Kalau lobang enam yang menghadap ke bawah, maka bunyinya akan lebih lunak dibandingkan dengan angka satu. Sebab dalam lobang-lobang dadu yang enam buah itu angin banyak tertahan dan membuat jatuhnya lebih pelan. Hanya kini dibutuhkan kepandaian menerka tepat antara lobang enam dengan lobang lima. Untuk membedakannya dibutuhkan keahlian bertahun-tahun. Namun bagi si Bungsu hal itu sudah merupakan kaji menurun. Dia memang seorang penjudi ulung sebelumnya.
Kini dengan pendengarannya yang tajam, dia segera dapat menebak. Kalau empat taruhan terdahulu dia hanya ingin coba-coba, maka kini dia bertaruh dengan penuh keyakinan. Semua uang kemenangannya tadi dia taruh di angka satu, empat dan enam. Baribeh menaruh uangnya di angka tiga dan lima. Perwira Jepang yang satu itu menaruh taruhannya di angka enam, Juling menaruh di angka satu.
”Sudah ..?” si Babah bertanya.
Tak ada yang menyahut. Mereka semua menatap diam pada piring itu. Babah gemuk itu mengangkat bambu. Dan kembali mereka terkejut. Ketiga buah dadu itu menunjukkan angka persis seperti taruhan si Bungsu. Yang muncul di atas adalah mata satu, empat dan enam. Dengan demikian dia kembali memenangkan taruhan. Perwira Jepang yang memasang di angka enam ikut bersorak gembira. Demikian pula si Juling yang menaruh uangnya di angka satu. Mereka menerima bayaran taruhannya.
Si Babah membayar dengan tenang. Matanya sesekali menatap pada si Bungsu. Dan bulu tengkuk si Bungsu merinding melihat kilatan mata Babah gendut itu. Namun dia tetap duduk diam di tempatnya. Tongkat samurainya dia letakkan di paha. Siap menanti segala kemungkinan. Lagi pula apa yang harus dia takutkan? Bukankah pertaruhan ini jujur? Bukan dia yang jadi bandar. Dia hanya pemasang taruhan. Dalam perjudian, biasanya yang selalu curang adalah bandar. Dan kinipun kalau akan ada huru hara, maka itu hanyalah karena dua soal.
Pertama karena bandar curang, dan ini tak kelihatan tanda-tandanya. Dan kedua karena bandar atau salah satu pihak tak rela kalah. Dan inipun tak ada atau belum ada tanda-tandanya. Meski telah membayar cukup banyak dalam dua kali taruhan ini, tapi Babah gemuk itu membayar masih dengan tersenyum. Dia tampaknya memang cukong yang siap berjudi dengan siapapun dan dalam taruhan berapapun. Kini jari-jarinya yang panjang dan kurus itu mulai mengambil buah dadu. Memasukkan kedalam potongan bambu dan mengangkatnya tinggi. Si Bungsu kebetulan sedang menatapnya pula. Mereka saling pandang. Babah itu tersenyum. Dan kembali urat-urat darah di tubuh si Bungsu mengencang melihat tatapan mata dan senyum Babah gemuk ini.
Lambat-lambat tangan si Babah mulai memutar bambu berisi dadu. Suara dadu terdengar bersentuhan dan berputar di dinding tabung bambu pendek itu. Mata Babah gemuk itu bergantian menatap si Bungsu, Baribeh, perwira Jepang dan si Juling.
Menatap sambil tangannya tetap memutar tabung bambu berisi dadu tersebut. Si Bungsu tidak lagi menatap pada si Babah. Meskipun dia tahu Babah itu memandang padanya beberapa kali selama mengguncang dadu. Tapi kini dia menunduk. Telinganya dia pasang baik-baik. Pendengarannya dia pusatkan pada bijih dadu yang berputar itu.
Dan tiba-tiba Babah itu menghentikan putarannya. Berbeda dengan cara sebelumnya, kali ini dia tak langsung menelungkupkan tabung itu di atas piring. Melainkan memegangnya dulu. Buah dadu itu berkumpul di dasar tabung. Beberapa detik berlalu.
Lalu tiba-tiba, dengan amat cepat tabung bambu itu di telungkupkan di piring di depannya. Tak ada suara buah dadu yang menyentuh piring. Sepi. Perwira Jepang itu, Baribeh dan si Juling jadi heran, sebab tak satupun terdengar buah dadu yang jatuh kepiring. Tak satupun. Kepandaian Babah ini bukan main. Baribeh jadi kagum sebab selama ini Babah itu belum pernah melakukan hal itu. Kini buah dadu itu menyentuh piring tanpa terdengar sedikitpun suaranya.
”Pasanglah,” kata si Babah perlahan.
Tangannya masih tetap memegang tabung yang tertelungkup itu. Perwira Jepang itu sejenak memandang pada si Bungsu. Tapi karena si Bungsu masih diam, dia segera memasang taruhannya di angka empat. Baribeh dengan ragu memasang taruhannya di angka lima dan satu. Si Juling memasang di angka dua. Si Bungsu masih diam. Babah gemuk itu menatap padanya.
”Tidak ikut memasang?” tanya si babah.
Si Bungsu menatap Cina itu. Mereka saling pandang.
”Tidak ikut bertaruh ..?” babah itu kembali bertanya.
Sementara yang lain, termasuk tiga orang perempuan cantik yang kini duduk dekat Baribeh, Juling dan perwira Jepang itu, menatap padanya dengan diam.
”Pasang saja taruhannya”. Babah itu berkata lagi.
”Taruhan baru saya pasang kalau dadunya sudah jatuh di piring ” si Bungsu berkata perlahan.
Perwira Jepang serta Baribeh saling pandang. Mereka jadi ragu atas ucapan anak muda ini. Apakah buah dadu itu memang belum jatuh ke piring? Masakan belum. Mana bisa dadu itu tergantung atau tertahan di atas dalam tabung bambu itu. Mustahil.
”Jatuhkanlah buah dadu itu ke piring, baru saya memasang taruhan ”. Ujar Bungsu.
Babah itu tersenyum. Mau tak mau dia terpaksa harus memuji keunggulan pendengaran anak muda ini. Anak muda yang luar biasa, pikirnya. Luar biasa lihainya berjudi.
Sebuah dencingan halus terdengar di dalam tabung itu. Sebuah dadu jatuh. Sepi setelah itu. Si Bungsu masih tetap menunduk. Memasang telinga. Sebuah dentingan lagi. Dan sepi. Babah itu mengangkat tangannya dari bambu tersebut. Perwira Jepang itu dan Baribeh kembali saling pandang.
”Baru dua buah yang jatuh”, perwira itu berkata.
Babah itu tersenyum sambil menatap pada si Bungsu. Si Bungsu mengambil semua uang yang dia menangkan dalam taruhan tadi. Kemudian meletakkan semuanya pada nomor tiga dan lima. Kemudian sepi.
”Tak ada yang akan merobah letak taruhan?”
Babah itu bertanya. Tak seorangpun yang menyahut. Babah itu kemudian mengangkat tabung bambu itu. Dan tiba-tiba semua orang, kecuali si Bungsu, jadi tertegun. Dua diantara tiga dadu itu memang menunjukkan angka-angka seperti yang ditebak si Bungsu. Mata dadu yang muncul di atas adalah mata satu, lima dan tiga. Berarti dua taruhannya menebak tepat dan benar. Dia tak memasang taruhan pada angka satu, namunan itu tak mempengaruhi kemenangannya.
Si Babah mulai berpeluh. Dia terpaksa tegak dan berjalan menuju biliknya. Tak lama dia muncul membawa sebuah kantong besar. Lalu duduk lagi di tempatnya tadi dan membuka kantong yang tadi dia bawa.
Menatap ke uang taruhan si Bungsu beberapa saat.
Kemudian mulai menghitung uang yang dia ambil dari dalam kantong. Dan meletakkannya pada uang taruhan si Bungsu. Si Bungsu hanya menatap dengan diam. Dia tahu, meski Babah itu tak menghitung taruhannya, namun Babah itu tahu dengan pasti berapa harus membayar. Suatu keahlian yang jarang tersua. Menghitung uang dari jarak tertentu tanpa menyentuhnya.
Dari seratus penjudi lihai, barangkali ilmu ini hanya terdapat pada satu atau paling banyak dua pejudi. Dengan demikian, si Babah telah menunjukkan dua ilmu simpanannya. Pertama demontrasi tenaga dalam. Yaitu tatkala tadi dia menahan ketiga dadu itu di bahagian atas tabung bambu.
Perwira Jepang dan Baribeh menyangka bahwa dadu itu berada di piring. Tapi ternyata masih dia tahan melalui penyaluran tenaga dalamnya pada dinding tabung bambu itu. Dan ilmunya ini ternyata diketahui oleh si Bungsu. Kedua adalah ilmu menghitung tanpa menyentuh duit sebentar ini. Dan si Bungsu juga mengetahuinya. Oleh karena itu dia tak mau menghitung uang bayaran yang diberikan oleh Babah.
Uang itu dia kaut dan dia letakkan didepannya. Yang ikut beruntung adalah Baribeh. Taruhannya di angka lima juga mengena. Sementara taruhan perwira itu dan taruhan si Jul ditarik oleh si Babah. Si Babah masih tersenyum. Kemudian memungut bijih dadu di atas piring, kemudian memasukkannya ke dalam tabung bambu itu. Dia memutarnya. Kemudian terbatuk.
Saat itulah tiba-tiba saja ke ruangan itu berlompatan enam orang Kempetai dengan senjata terhunus. Mereka dikurung di tengah. Si Bungsu secara reflek segera meraih samurainya yang terletak di paha. Namun entah bagaimana caranya, tahu-tahu samurai itu terpental jauh kebelakang terkena tendangan si Babah. Sebelum si Bungsu sadar apa yang terjadi, tendangan si Babah mendarat di dadanya. Dia terguling dan segera saja muntah darah. Kepalanya berkunang-kunang. Ketika dia coba untuk bangkit, rambutnya ditarik dengan keras. Dia terduduk. Dan segera saja empat buah sangkur terhunus ditekankan ke dada dan lehernya.
”Kalau kau melawan, kau kami bunuh di sini ”.
Kempetai yang memimpin penyergapan ini mendesis dengan tajam. Si Bungsu tak dapat bergerak sedikitpun. Dia melihat Babah tadi duduk dengan tenang. Begitu pula Baribeh dan si Juling. Semula dia menyangka bahwa penggerebekan ini adalah penggerebekan Kempetai terhadap tempat-tempat judi. Karena dia pernah mendengar bahwa tentara Jepang dilarang berjudi. Tapi kali ini rupanya penggerebekan itu memang sudah direncanakan. Si Bungsu tak menyadari sedikitpun, bahwa dia masuk perangkap. Sudah tiga hari ini dia memperhatikan rumah Babah ini. Dia mendapat informasi bahwa rumah Babah ini termasuk suatu tempat berkumpulnya para perwira untuk berjudi dan bersenang-senang dengan pelacur kelas tinggi.
Dia mengawasi rumah ini untuk mengetahui jejak Saburo. Dia berharap untuk bertemu dengan Kapten yang telah membantai keluarganya itu. Tanpa disadari selama dia mengawasi rumah ini dari kejauhan ada pula orang lain yang juga mengawasinya. Orang itu tak lain dari si Babah sendiri. Si Babah ini memang harus hati-hati. Dia tidak mau mati konyol. Oleh karena itu dia mengawasi setiap orang yang lewat di depan rumahnya. Makanya tak heran kalau kehadiran si Bungsu tiga hari berturut-turut tak jauh dari rumahnya menarik perhatiannya. Si Bungsu yang memata-matai rumah itu kini balik dimata-matai.
Suatu hari si Babah bertemu dengan Baribeh di pasar. Dia bawa Baribeh kesuatu tempat di mana dapat melihat si Bungsu dengan aman. Tentu saja si Baribeh dan si Juling mengenal anak muda itu dengan baik. Tapi mereka tak mengetahui untuk apa si Bungsu tegak di sana. Mereka hanya mengetahui bahwa si Bungsu sudah mati ditebas Saburo dan anak buahnya sekitar dua tahun yang lalu. Apakah si Bungsu menyangka bahwa kebocoran rahasia persembunyiaan Datuk Berbangsa dulu adalah andil Babah gemuk ini? Babah gemuk itu jadi was-was. Sebab rahasia bahwa di Situjuh Ladang Laweh ada orang yang menyusun kekuatan untuk melawan Jepang, memang Babah inilah yang memberitahukannya pada Kempetai. Si Babah pulalah yang membayar beberapa orang Minang dengan bayaran yang tinggi, untuk mengorek rahasia bahwa yang memimpin gerakan itu adalah Datuk Berbangsa dan Datuk Sati.
Babah ini memang menjadi semacam pusat informasi bagi balatentara Jepang. Dia sudah berada di Payakumbuh ini sejak puluhan tahun. Ketika Belanda berkuasa dia menjadi kaki tangan Belanda. Dan ketika Jepang datang dia menjadi cecunguk Jepang pula.
Untuk mengetahui apa maksud pemuda ini, makanya Babah itu lalu memasang perangkap. Si Baribeh dan si Juling dibuat pura-pura terkejut kalau bertemu dengannya. Kemudian membujuknya untuk masuk berjudi ke dalam. Di dalam mereka akan menangkapnya. Begitu ia masuk, seorang kurir yang dipasang tak jauh dari rumah itu segera melaporkan pada Kempetai akan adanya seorang mata-mata di rumah si Babah.
Dan si Bungsu masuk ke dalam perangkap yang dipasang itu. Dia masuk sebenarnya dengan maksud ingin mencari informasi tentang Saburo. Kini ternyata dia diringkus.
Babah itu tersenyum menatapnya. Senyumnya persis seperti senyum ketika membayar taruhan tadi. Kembali si Bungsu merasa bergidik melihat senyum itu.
”Anak muda, coba terangkan apa maksudmu memata-matai rumahku ini,” Babah itu bertanya.
Si Bungsu tak menjawab.
”Jawab ...! Jawablah apa maksud memata-matai rumahku ini! Kau ditugaskan oleh siapa untuk memata-mataiku? Ditugaskan oleh pejuang-pejuang yang akan melawan Jepang ya?”
Si Bungsu terdiam. Dia tidak mengerti ujud petanyaan itu.
”Jawablah Bungsu. Kalau tidak kau bisa susah ”. Kata Baribeh. Si Bungsu masih diam.
”Apakah Mahmud mengirim dia kemari? ” si Babah bertanya pada Baribeh.
”Tidak. Dia justru mengirimkan kurirnya ke Kubu Gadang. Mereka akan menyerang Kubu itu untuk merampas persenjataan ”.
”Kapan mereka merencanakan?”
”Dua malam lagi ”.
”Apakah tindakan lainnya ”.
”Kalau tak berhasil mereka akan membakar Kamp kita ”.
Si Bungsu menatap Babah dan Baribeh berganti-ganti. Menyimak pembicaraan kedua orang itu kini persoalan menjadi jelas baginya, bahwa Baribeh bekerja untuk Babah Cina itu. Babah itu bekerja untuk Jepang. Mereka memata-matai kegiatan pejuang-pejuang Indonesia. Si Bungsu tiba-tiba menjadi ingin muntah saking jijik dan mualnya melihat Baribeh, si Juling dan si Babah. Tapi sekaligus dia juga menjadi lega. Sebab dengan pertanyaan si Babah itu dia menjadi tahu, bahwa baik si Baribeh maupun pihak Jepang tak mengetahui sedikitpun bahwa dialah yang telah membunuh Jepang-Jepang itu dalam bulan-bulan terakhir ini.
Ini berarti pembunuhan tiga orang Kempetai di kampungnya ketika akan menangkap Salim anak Imam dari Mesjid belum diketahui Jepang. Barangkali ketiga Jepang itu disangka melarikan diri atau lenyap begitu saja. Belum ada yang menyangka bahwa dia mati terbunuh. Itu juga berarti bahwa kematian Jepang-Jepang di kedai kopi Siti di kampung Tabing dulu juga masih disangka karena mereka saling berkelahi. Persis seperti yang direncanakan dulu. Dan itu juga berarti bahwa Kempetai ini belum mengetahui bahwa yang membunuh Jepang-Jepang di tempat pelacuran Lundang dulu itu adalah seorang pribumi. Si Bungsu menjadi agak tentram. Buat sementara dia masih aman. Kini tinggal hanya bagaimana melarikan diri dari rumah Babah celaka ini.
Babah itu memaki. Muka si Bungsu jadi merah padam. Di negerinya sendiri ada Cina yang memakinya dengan sebutan monyet. Ada Cina yang selama puluhan tahun diterima dengan baik oleh bangsanya, diterima di tengah pergaulan dan mencari makan di bumi negerinya dan hidup dengan aman selama puluhan tahun itu, berani memaki dirinya. Memaki anak negeri dimana dia hidup menompang dengan sebutan monyet!
Alangkah jahanamnya. Dia tatap mata si Babah. Dan saat itu perwira yang tadi masuk ke bilik si Amoy anak si Babah, muncul di pintu. Dia mendengar bentakan, dan cepat-cepat menyudahi permainannya. Lalu memasang celana dan baju. Si Amoy dia tinggalkan terguling lelah di lantai.
”Ada apa ..?” tanya perwira yang bernama Ichi kepada Babah.
Si babah menceritakan tentang si Bungsu yang mengintai rumahnya. Perwira itu menatap pada si Bungsu.
”Paksa dia untuk bicara. Barangkali dia ikut ketika mencuri senjata di Kubu Gadang dulu ..” Kata Ichi sambil berjalan ke sudut ruangan mengambil minuman.
”Bicaralah ..!”
Kata si Babah pada si Bungsu. Kali ini tangannya bergerak. Mengambil bijih dadu sebuah. Meletakkannya di antara ibu jari dan telunjuk kanannya. Kemudian ”menembakkan” buah dadu itu kearah si Bungsu.
Tanpa dapat ditahan, si Bungsu terpekik. Bijih dadu itu menghantam daun telinganya sampai robek. Darah mengucur dari sana. Namun si Bungsu tak dapat bergerak. Sebab empat bayonet masih menekan dada dan lehernya. Dapat dibayangkan betapa tingginya ilmu Babah itu. Hanya dengan jentikan halus saja, dadu itu sanggup memecah telinga si Bungsu. Tidak hanya berilmu tinggi, tapi sekaligus berhati sadis!
”Jawablah!! Kalau tidak engkau akan kubunuh seperti membunuh tikus ..” Kata si Babah dengan nada dingin.
”Saya mencari Saburo ”.
Akhirnya si Bungsu berkata jujur.
”Saburo ..?”
”Ya ..”
”Tai-i Saburo Matsuyama?”
”Ya”.
”Untuk apa kau mencarinya? ”
”Ada persoalan yang harus kuselesaikan ”
”Persoalan apa?”
”Itu urusanku ..”
Mendengar jawaban ini, babah gemuk itu kembali mengambil sebutir dadu. Lalu kembali dia letakkan di antara ibu jari dan telunjuknya. Kemudian dia sentilkan kearah si Bungsu. Kembali si Bungsu terpekik. Sebenarnya dia telah berusaha untuk menahan sakit. Dia menggertakkan gigi. Namun dadu itu menghantam keningnya. Namun Babah gemuk itu bukan main lihainya. Dadu itu menyerempet kening si Bungsu sedemikian rupa. Mula pertama dadu itu menjitak dahi si Bungsu. Sakitnya bukan main, kemudian melesat merobek kulit keningnya arah ke belakang. Kulitnya kepalanya robek empat jari. Darah mengucur.
Babah gemuk itu tertawa menyeringai. Demikian pula Baribeh dan si Juling. Air mata si Bungsu merembes di pipinya. Dia tak menangis. Tapi air mata itu adalah air mata menahan sakit. Dia menyumpahi dirinya yang dengan mudah masuk ke dalam perangkap orang-orang sadis ini. Si Bungsu bersumpah, kalau dia kelak dapat membalas, maka Babah gemuk ini adalah orang pertama yang paling nista dia perbuat. Dia akan cincang perut gendutnya itu. Dia benar-benar bersumpah untuk itu. Tekadnya untuk hidup makin menyala.
”Nah, buyung. Katakanlah untuk apa lu mencari Tai-i Saburo ..!”
Kata Cina gendut itu. Si Bungsu menghapus darah dikeningnya. Menghapus darah dari daun telinganya yang koyak. Pedih dan sakit dari kedua lukanya itu menyentak-nyentak.
”Bagaimana saya akan bicara kalau leher dan dada saya ditekan begini?”
Katanya coba mencari kesempatan. Dia berharap dengan ucapannya itu bayonet yang ditekankan ke leher dan dadanya akan ditarik. Kalau saja dia punya kesempatan agak sedikit, dia bisa berguling dengan loncat tupai ke belakang menyambar samurainya.
Demi Tuhan, akan dia cincang semua lelaki yang ada dalam ruangan ini. Terutama Cina gemuk seperti babi ini. Namun Babah itu memang orang sadis. Di tangannya tiba-tiba telah berada pula sebuah bijih dadu. Meletakkan dadu itu kembali di antara ibu jari dan telunjuknya. Dadu itu siap lagi untuk dia sentilkan pada si Bungsu.
”Dadu ini bisa menembus jantungmu. Engkau mati. Atau bisa menembus matamu. Engkau buta. Maka sebelum salah satu di antara kemungkinan itu terjadi, bicaralah yang benar. Tak peduli ada bayonet atau tidak di lehermu!”
Benar-benar sadis. Mau tak mau si Bungsu memang harus buka mulut.
”Saya ingin menuntut balas kematian keluarga saya ..” katanya perlahan.
”Dengan apa akan kau tuntut? Dengan menembaknya? Atau dengan menyerang rumahnya bersama gerombolan Indonesia? Hmm ..? Katakan bagaimana caranya!!”
”Dengan cara saya sendiri ..”
”Bagaimana caramu!”
Si Bungsu terdiam. Babah gemuk itu bangkit. Kemudian mendekatinya.
”Katakan bagaimana caramu ..!” desis Babah itu.
Perwira-perwira Jepang yang lain menatap dengan diam. Si Bungsu jadi sadar, Cina ini nampaknya adalah salah seorang Perwira Intelijen Jepang, karena kelihatan sekali dia disegani perwira-perwira itu. Hanya saja jabatannya itu dia rangkap sebagai penjudi dan pengusaha rumah lacur. Demikian tak bermoralnya dia, sehingga demi pangkat dan karirnya di mata Jepang, dia rela mengorbankan anak gadisnya untuk memuaskan nafsu perwira-perwira Jepang tersebut. Karena si Bungsu masih tetap diam, Babah itu menjitak kepalanya. Terdengar suara berdetak ketika lipatan jari babah itu menghantam keningnya. Keningnya segenap bengkak sebesar telur.
”Katakanlah dengan siapa kau akan pergi menyerang Tai-i Saburo, dan dimana kalian akan berkumpul, monyet!”
Kepalanya yang kena jitak amat sakit, tapi yang lebih sakit adalah hatinya. Benar-benar sakit hati si Bungsu menerima perlakuan Babah gemuk ini. Pertama cara dia menekek atau menjitak kepalanya tadi. Benar-benar menyinggung hatinya. Kemudian ucapannya menyebut ”monyet” benar-benar menyakitkan. Saking sakit hatinya, anak muda itu lupa mengontrol diri. Tanpa dapat dia tahan, dia meludahi muka Babah gemuk itu. Ludahnya menghantam wajah si Babah. Anak muda ini benar-benar lupa diri saking marahnya. Dia tak sadar sama sekali, bahwa dengan perbuatannya ini dia bisa dibunuh si Babah seketika. Kalau itu terjadi, maka dendamnya pada Saburo takkan pernah terbalaskan.
Namun si Babah yang mukanya sudah seperti udang direbus itu benar-benar tak memberi ampun. Kakinya melayang. Si Bungsu yang memang tak pernah belajar silat itu kena hantam dadanya. Tubuhnya tercampak. Dan masih belum mencecah lantai, dia sudah muntah darah. Kemudian tubuhnya jatuh. Masih belum dia sadari apa yang terjadi, ketika sebuah tendangan kembali mendarat di rusuknya. Sakitnya bukan main. Dia mendengar tawa si Babah. Yang menendangnya barusan ini ternyata si Baribeh. Untung si Baribeh. Sebab kalau Cina itu yang menendang, dia yakin empat rusuknya akan patah. Tendangan Baribeh itu membuat dia terguling lagi. Dia tertelungkup diam. Kening, telinga, mulut dan hidungnya melelehkan darah.
”Anjing! Melayu anjing, berani kau meludahiku, kupotong lidahmu ”
Sumpah si Babah dan mendekati tubuhnya. Si Bungsu benar-benar berada dalam keadaan kritis. Babah itu mengambil sebuah pisau dari atas meja. Dia nampaknya memang berniat melaksanakan sumpahnya untuk memotong lidah si Bungsu. Namun saat itu si Bungsu merasa ujung jarinya menyentuh sesuatu. Tanpa terlihat, masih dalam posisi tertelungkup, dia membuka mata. Tiba-tiba semangatnya timbul lagi. Yang berada di ujung jarinya itu adalah samurainya!
Langkah si Babah makin mendekat. Makin dekat. Kaku berjongkok dan berniat memegang wajah anak muda itu untuk mengeluarkan lidahnya. Namun dengan gerakan yang hampir-hampir tak dapat dipercaya oleh semua orang yang ada dalam ruangan itu, si Bungsu berguling dua kali kekanan. Dua kali kekiri. Dalam gulingan yang amat cepat dan ringan dia melompat berdiri. Secarik cahaya putih berkelebat amat cepat. Tiga orang serdadu Jepang yang tadi menekan leher dan dadanya dengan sangkur masih melongo tatkala kilatan cahaya itu menerpa wajah mereka. Mereka terpekik dan roboh.
Darah muncrat dari tubuh mereka. Kini si Bungsu tegak di atas unggukan uangnya dengan sikap seperti seekor Rajawali yang siap menyambar mangsanya. Samurainya terhunus melintang di depan dada. Samurai itu berlumuran darah. Matanya menatap tajam pada Babah gemuk itu.
”Siapa saja yang bergerak mencabut senjata atau berniat lari atau memekik, akan kucabut nyawanya. Tegak saja di tempat kalian baik-baik!”
Ujar anak muda itu perlahan. Suaranya dingin dan penuh ancaman. Perwira Ichi yang semula berniat mencabut pistol, jadi tertegun. Tangannya terhenti di gagang pistolnya. Ancaman anak muda ini menggetarkan jantungnya. Namun jarak antara dia dengan anak muda itu cukup jauh. Lagipula tubuhnya terlindung oleh tubuh seorang wanita. Dia pasti aman kalau mencabut pistol itu diam-diam kemudian menembaknya pada tengkuk anak muda pongah ini. Dia sudah berniat untuk melaksanakan maksudnya.
Tapi entah kenapa tiba-tiba dia jadi ragu. Karenanya dia memberi isyarat dengan mata pada si Baribeh. Baribeh mengerti isyarat itu. Lelaki itu lalu bicara untuk mengalihkan perhatian si Bungsu.
”Bungsu, jangan berbuat kekacauan di sini. Engkau tak akan bisa lolos lihatlah, rumah ini telah dikepung ..”
Dan waktu itulah pistol Ichi keluar dari sarungnya. Pistol itu sudah akan dia angkat. Malang dia tak mengetahui bahwa anak muda ini tidak sama dengan kebanyakan anak muda Melayu lainnya. Anak muda yang satu ini telah melatih indranya di gunung selama dua tahun lebih. Dia telah lolos dari kehidupan liar yang membutuhkan perjuangan keras untuk bisa tetap bertahan. Dia mampu bertahan hidup di tengah ganasnya belantara yang amat liar. Hidup di tengah hukum rimba. Dimana hanya yang kuat yang berhak untuk hidup. Yang lemah harus mau menjadi tumbal untuk kelangsungan hidupnya yang kuat.
Dalam kehidupan di rimba belantara itu, kekuatan saja tidak menjadi jaminan untuk bisa memperpanjang nyawa. Kuat tanpa kecerdikan bisa konyol. Kuat dan cerdik saja juga belum tentu bisa selamat. Kewaspadaan dan ketajaman firasat serta pendengaran sangat dibutuhkan. Bagaimana caranya mengetahui seekor ular yang bergerak tanpa suara itu akan menyerang kita? Bagaimana caranya mengetahui seekor harimau yang akan menerkam mangsanya, yang bergerak seringan kapas tanpa dilihat dan tanpa terdengar oleh mangsa yang akan diterkam. Makhluk di rimba raya memerlukan ketajaman firasat dan pendengarannya untuk bisa bertahan hidup. Inilah yang terpenting, bukan hnya kekuatan semata.
Burung, tupai atau kancil, adalah makhluk yang lemah tanpa daya. Namun mereka bisa hidup berkembang dan tak punah dalam belantara yang dipenuhi kebuasan itu berkat pendengaran dan firasat mereka yang tajam. Itu pulalah yang dipelajari si Bungsu selama mengasingkan diri selama dua tahun di gunung Sago. Dia bertekad untuk tetap hidup sekurang-kurangnya sampai dendam keluarganya terbalaskan. Kalau burung atau kancil saja bisa hidup, kenapa dia sebagai manusia yang berakal tidak? Kalau mereka mempunyai ketajaman pendengaran, kenapa dia tak bisa menirunya? Maka hiduplah dia di rimba itu sambil menimba banyak sekali kearifan hidup dari hewan yang purbani.
Ternyata dia keluar sebagai pemenang. Tetap hidup sampai saat ini.
Itu pula yang terjadi di rumah babah gendut itu. Disaat Ichi menarik pistolnya, telinga si Bungsu yang mampu mendengar daun jatuh sekalipun saat di gunung sana, juga mendengar benda keras yang dicabut dari sarangnya. Firasatnya segera bekerja.
Benda itu kalau tidak pisau pastilah pistol. Dalam waktu yang singkat sekali, dia menjatuhkan diri kebelakang. Punggungnya mencecah lantai. Kemudian kakinya bergulung keatas. Saat itu pistol meledak. Namun pelurunya menerpa tempat kosong. Dengan dua kali bergulingan amat cepat, si Bungsu melewati perempuan yang tegak di depan Ichi.
Perwira itu terkejut melihat anak muda itu tiba-tiba saja sudah berada di depannya. Pistol dia arahkan padanya. Namun samurai si Bungsu berkelebat. Tak ada pekikan.
Perwira Jepang itu rubuh dengan bahu di dekat pangkal lehernya belah dua sampai ke dada. Bukan main. Benar-benar satu gerakan yang terlalu cepat untuk diikuti mata.
Seorang serdadu yang tegak di sisi Ichi justru ternganga menatap tubuh perwiranya yang jatuh tergolek dengan tubuh hampir terbelah dua. Tapi nasibnya juga sial. Tengkuknya disambar samurai si Bungsu. Kepalanya mengelinding ke bawah sebelum tubuhnya mencapai lantai. Mati.
Perempuan-perempuan pada terpekik. Si Bungsu tegak menghadap pada Babah gemuk itu. Si Babah terkejut melihat kecepatannya. Sementara si Baribeh dan si Juling tegak merapat kedinding belakang si Babah. Muka mereka pucat ketakutan. Tak pernah mereka bayangkan sedikitpun, bahwa anak muda yang pernah mereka lanyau di Surau ketika mereka kalah judi dahulu akan menjadi begini hebatnya.
”Hmm, lu jangan banyak lagag di depan we. Lu we bikin ayam potong”.
Ujar Si Babah sambil menyeringai buruk. Si bungsu memandangnya tak berkedip. Matanya yang biasa bersinar lembut kini membersitkan api amarah yang dahsyat. Samurainya membelintang di depan dada. Dia tegak dengan sikap gagah. Kemudian terdengar suara-suaranya bergema, dingin dan datar.
”Gendut, engkau telah hidup di negeriku ini sebelum aku dilahirkan. Bahkan mungkin kalian hidup sejak dari moyang kalian di sini. Di sini kalian hidup dan mencari nafkah. Pernah kalian diganggu anak negeri ini? Pernah kalian dihalangi untuk mencari nafkah? Tak pernah, kan? Bahkan kami menganggap kalian sebagian dari masyarakat kami. Kita sama-sama berhak hidup dan mencari kehidupan di negeri ini.
Tapi apa kini yang kau perbuat untuk membalas kebaikan anak negeri ini? Yang telah berbaik hati menerima kalian hidup beberapa keturunan dengan damai di negeri ini?”
Dia berhenti sebentar, lalu:
”Ternyata kau khianati negeri ini pada Jepang. Engkau menjadi musuh dalam selimut bagi anak negeri yang telah puluhan tahun hidup bersamamu. Benar-benar sikap jahanam yang laknat. Demi uang engkau sudi berbuat apa saja. Tapi demi Tuhan, engkau harus mati malam ini. Harus, Gendut!”
Sumpah anak muda ini mau tak mau membuat bulu tengkuk Babah itu merinding. Si Baribeh dan si Juling tak berani berkutik. Tegak mematung dengan tubuh menggigil di tepi dinding. Kedua lelaki Minang ini sampai terkencing-kencing di celananya. Si Babah gendut itu nampaknya juga mengetahui bahwa anak muda di depannya ini tidak hanya menggertak sambal. Anak muda itu sanggup melaksanakannya. Karena itu dia mulai menyerang, tubuhnya seperti lenyap di bungkus sinar. Bukan main cepatnya dia bergerak. Si Bungsu buat sesaat jadi tertegun. Dia bukan pesilat, apa yang harus dia perbuat?
Suatu saat dia rasakan angin mengarah keperutnya. Dia tak melihat serangan. Tapi dia yakin angin itu berasal dari pukulan Gendut itu. Satu-satunya jalan yang bisa diambilnya adalah menghantamkan samurainya. Bersamaan dengan itu tubuhnya berguling kesamping. Namun terlambat! Sebuah tikaman menghantam pahanya. Bukan main sakitnya, dia terpekik. Darah mengucur lagi! Si Babah memburu terus.
Untuk beberapa saat si Bungsu terpaksa berguling dengan meniru loncat tupai itu. Untuk beberapa saat nampaknya dia teringat lagi pada perkelahiannya yang terakhir di gunung Sago melawan dua cindaku. Ya, kenapa dia tidak bertahan tegak saja sambil memejamkan mata? Bukankah dia bisa mengandalkan pendengarannya yang tajam itu.
Kalau dia mengelak terus begini, tenaganya akan habis. Gerakkannya akan lamban. Dan bila sudah begitu maka kesempatan untuk menangkis serangan juga tak ada lagi. Maka kini dia harus merobah taktik. Si Babah ini nampaknya memang seorang pesilat Cina yang tangguh. Firasatnya yang mencurigai si Babah ketika mula-mula masuk tadi ternyata benar. Si Babah tidak hanya berilmu silat yang tinggi, tetapi juga seorang mata-mata yang amat berbahaya. Si Bungsu bergulingan menjauh. Saat berhasil menjauhi si Babah dia tegak kemudian memejamkan mata. Dia mendengar nafas memburu dan suara gigilan di belakangnya. Kemudian langkah menggeser.
Masih dalam keadaan memejamkan mata, dan masih dalam keadaan merasakan sakitnya telinganya yang koyak, keningnya yang luka dihantam dadu si Babah, dan paha yang luka kena tikam pisau, dia menghayunkan samurainya kebelakang. Si Baribeh dan si Juling yang berada di belakangnya, yang ingin menggeser tegak dari belakang anak muda itu, tiba-tiba terpekik. Bajunya robek dihantam samurai si Bungsu. Dia tertegak diam dan merapat kembali kedinding.
”Engkau tak layak untuk hidup Baribeh. Selain penjudi, engkau ternyata menghianati negerimu. Orang semacam engkau tak layak mengaku sebagai anak Minangkabau. Karenanya engkau juga tak layak hidup di negeri ini!”.
Suara si Bungsu bergema perlahan. Tapi nadanya mengirimkan gigilan yang amat menakutkan ke jantung si Baribeh dan si Juling. Anak muda itu bicara dengan mata yang masih terkatub. Dia harus membagi inderanya antara mengawasi si Baribeh dan si Juling dengan gerakan si Babah gemuk.
”Yiy ... ya! Ya benar. Saya memang tak layak untuk hidup di negeri ini. Karena itu mohonlah lepaskan saya. Saya akan berangkat meninggalkan negeri ini ..” si Baribeh berkata memohon terbata-bata.
Terdengar gelak renyai dari mulut si Bungsu.
”Hee .. he. Engkau akan pergi dari sini Baribeh?”
”Ya. Ya. Tapi kata waang saya layak hidup di negeri ini. Saya akan pergi jauh-jauh. Jauuuh sekali ..”
”Hidup adalah sesuatu yang amat mulia untuk kau lumuri dengan dosa Baribeh. Kau tak berhak untuk hidup .....”
Baribeh terkejut dan hampir saja dia jatuh mendengar ucapan anak muda ini. Tapi dia berusaha untuk tetap tenang. Meskipun tubuhnya menggigil dan celananya basah, dia angkat bicara lagi:
”Tet .. eh, tapi siapa yang menentukan bahwa saya tak berhak untuk hidup?”
”Saya!”
”Te .. eh. Tapi engkau bukan Tuhan!”
”Jangan bawa-bawa nama Tuhan dalam kehidupanmu yang kotor!”
Sehabis bicara dia berputar. Dia harus bertindak cepat, sebab si Babah merupakan bahaya besar yang harus dia hadapi. Begitu dia berputar, tubuh Baribeh dan si Juling menggeliat dimakan samurainya. Dada mereka belah dan menyemburkan darah. Dua orang penghianat yang bekerja untuk seorang Cina yang memata-matai negerinya telah mati.
Mati di tangan anak muda yang pernah mereka lanyau. Kini si Bungsu tinggal memusatkan perhatiannya pada si Babah gemuk itu. Namun saat itu di luar terdengar seruan dalam bahasa Jepang.. Kempetai! Ya, Kempetai telah mengepung rumah itu. Kempetai rupanya telah diberitahu oleh seorang mata-mata yang bertugas di luar.
Begitu mendengar pekikkan, dia segera ke pos Kempetai. Kini Polisi Militer Jepang itu datang dengan kekuatan empat puluh orang. Si Bungsu berfikir cepat. Dia sudah bersumpah untuk membunuh Babah mata-mata jahanam ini. Kalau tidak maka lebih banyak lagi bencana yang akan ditimbulkan orang ini terhadap negerinya. Dia kini tegak membelakangi dinding dan mayat Baribeh. Sedepa di kanannya, terdapat pintu keruang depan. Dia melirik pintu itu besar dengan palang pengunci dari balok. Rumah ini model rumah-rumah Cina kuno yang kukuh.
Dengan bergerak cepat dia menghantam pintu itu sampai tertutup. Kemudian menyepak palangnya hingga jatuh dan mengunci pintu dari papan yang amat tebal itu. Namun saat itu pula si Babah menyerangnya dari belakang. Pisau Babah itu menancap di bahunya. Hampir saja mengenai jantung. Namun dengan menggertakkan gigi, anak muda ini melompat dan menghujamkan samurainya kebelakang. Dia merasa samurainya mengenai sesuatu. Kemudian dia menyentak samurai itu kembali. Lalu berputar. Di luar terdengar Kempetai berteriak dan memukul-mukul pintu. Si Bungsu membabatkan samurainya. Si Babah gendut yang telah tertusuk dadanya itu, coba menangkis dengan pisau pendek itu. Namun tangannya putus hingga pergelangan. Dia terpekik.
”Kubunuh kau mata-mata laknat!!”
Desis si Bungsu sambil sekali lagi membabatkan samurainya. Babah itu mencoba mundur, tangannya yang pontong itu terangkat seperti akan menangkis. Namun tangannya itu dimakan samurai. Putus hingga siku, Babah itu untuk kedua kalinya terpekik.
Perempuan-perempuan sudah sejak tadi lenyap lewat pintu belakang. Babah itu hoyong. Samurai si Bungsu bekerja lagi. Kaki si Babah putus di batas lutut. Kini si Babah tergolek. Si Bungsu memenuhi sumpahnya belum lama berselang. Bahwa dia akan mencencang perut buncit Cina ini atas penghianatannya. Enam kali samurainya bekerja.
Membuat perut Babah Cina itu robek-robek seperti perut kerbau usai dipesiangi di rumah bantai. Darah bersemburan. Tubuh si Bungsu sendiri dipenuhi darah. Darah dirinya dan darah si Babah!
Kempetai di luar mulai menembaki pintu. Namun dengan bedil panjang mereka, pintu kukuh itu tetap tak dapat dijebol. Peluru bedil mereka hanya mampu menembus sedikit saja papan pintu itu, namun tidak tembus. Babah gepuk itu memang membuat rumahnya sebagai benteng. Dia amat khawatir kalau suatu saat rahasianya sebagai mata-mata Belanda dan mata-mata Jepang diketahui orang. Karena itu, dia membangun rumahnya sebagai pos yang sulit untuk ditembus.
Siapa sangka, hari ini dia sendiri yang membawa pembunuhnya masuk. Dan dia terbunuh di dalam benteng yang dia buat. Sementara orang yang ingin membantunya terkurung di luar. Dihambat oleh pintu besar yang amat kukuh. Di dalam ruangan itu masih ada dua orang perwira Jepang teman Ichi yang mula pertama main judi tadi. Mereka memang datang kesana atas permintaan si Babah. Si Babah melaporkan bahwa ada mata-mata yang ditangkap. Tapi kini, melihat makan tangan orang yang disebut mata-mata itu, tubuh mereka jadi lumpuh. Mereka seperti tak berdaya untuk bergerak. Ternyata tak semua perwira Jepang berhati baja. Ternyata mereka juga manusia biasa. Ada yang berhati baja, ada yang berhati seperti kerupuk jangek, amat rapuh.
Mereka sebenarnya punya kesempatan yang banyak untuk balas menyerang. Mereka bisa mencabut pistol atau memungut bedil yang terletak di lantai. Dan menembakkannya ketika anak muda itu bertarung melawan si Babah. Namun mereka seperti disihir.
Terdiam tak berkutik. Ada dua hal yang menyebabkan mereka begitu. Pertama rasa takut melihat sepak terjang anak muda itu. Amat cepat dan amat mengerikan. Dan yang kedua adalah perasaan takjub mereka. Betapa mereka takkan takjub, sebagai perwira-perwira, mereka termasuk mahir mempergunakan samurai.
Namun melihat cara anak muda ini mempergunakan samurai, mereka benar-benar terpukau. Caranya nampak sangat sembarangan. Tidak menurut aturan sebagaimana pesilat-pesilat samurai seperti mereka. Meski demikian, meski dengan metode yang tak benar, gerakan anak muda ini amat terlalu cepat. Ayunan dan tebasan samurainya amat kukuh, mantap dan secepat kilat. Mereka yakin, kalaupun mereka disuruh bertanding melawan anak muda ini, maka bagi mereka takkan ada harapan untuk menang sedikitpun! Kini, ketika si Bungsu mencencang tubuh si Babah, tanpa dapat mereka tahan kedua perwira ini terpancar kencingnya. Mereka bukannya ngeri melihat tubuh si Babah yang cabik-cabik, tapi mereka membayangkan bahwa setelah ini tubuh merekalah yang akan menerima nasib seperti itu.
Si Bungsu melangkah mendekati mereka. Salah seorang mencabut pistol dengan tangan menggigil. Samurai si Bungsu bekerja. Keduanya rubuh tanpa dapat melawan sedikitpun. Rumah itu berkuah darah. Potongan tubuh kelihatan tergeletak di sana sini. Ini benar-benar sebuah pembataian!
Si Bungsu memang tak bisa berbuat lain dari pada seperti itu. Dia dihadapkan pada dua pilihan. Dibunuh atau membunuh. Maka dia memilih yang kedua. Betapapun jahatnya suatu pembunuhan, namun jauh lebih baik hidup sebagai pembunuh dari pada mati sebagai orang yang dibunuh. Apa lagi kalau yang dibunuh itu adalah musuh bangsa!
Cukup lama waktu berlalu ketika pintu besar itu berhasil didobrak oleh Kempetai. Yaitu setelah mendatangkan sebuah truk reok untuk menghantam pintu itu sampai jebol. Begitu jebol, Kempetai berlompatan masuk. Begitu berada di dalam, mereka pada berseru kaget. Bulu tengkuk mereka merinding tatkala melihat sisa penjagalan yang terjadi dalam rumah itu.
Mereka segera memeriksa setiap sudut rumah. Mencari anak muda yang dilaporkan sebagai mata-mata yang masuk perangkap di rumah ini. Namun si Bungsu lenyap entah kemana. Mereka memeriksa semua bilik. Termasuk bilik enam perempuan yang tinggal di rumah itu. Termasuk juga bilik si Amoy semok anak si Babah yang baru berumur tujuh belas tahun itu. Tapi si Bungsu tak ada. Dan semua perempuan itupun benar-benar tak mengetahui kemana anak muda itu pergi. Dia lenyap seperti hantu dalam cahaya bulan.
***
Pimpinan tentara Jepang di Payakumbuh Mayor Sin Ici Eraito mengumpulkan semua perempuan yang ada di rumah itu, termasuk semua serdadu yang menggerebek rumah tersebut. Kepada mereka diperintahkan untuk tetap tutup mulut. Tak seorangpun boleh membicarakan hal ini.
Juga diperintahkan, agar setiap kematian tentara Jepang dalam serangan atau perkelahian dengan penduduk pribumi, harus dipeti-eskan. Jangan sampai menjalar ke luar. Sebab kalau berita itu bocor ke luar maka ada dua hal yang membahayakan kedudukan tentara Jepang. Pertama, penduduk pribumi yaitu bangsa Indonesia yang sudah berniat melawan Jepang, akan bertambah semangatnya. Sebab ternyata ada orang yang mampu membunuh tentara Jepang yang ditakuti itu. Dan hal ini bisa mempercepat timbulnya pemberontakan anti Jepang di Minangkabau. Kedua adalah soal prestise.
Tentara Jepang sudah tentu akan malu jika tersiar kabar bahwa tentara kaisar Tenno Heika dari negeri Matahari Terbit yang kesohor itu mati di tangan penduduk pribumi. Apalagi jika pecah kabar, bahwa tentara Jepang itu justru mati oleh sebuah Samurai. Tak terbayangkan geger yang akan timbul.
Sebagai komandan tertinggi yang membawahi Payakumbuh dan sekitarnya, Mayor Eraito tidak mau mengambil resiko dihukum oleh Kolonel Fujiyama karena kematian perwira-perwiranya secara beruntun ini. Dia berusaha menutupi kejadian ini untuk tak bocor keatas. Sebab saat itu hukuman yang terkenal diantara perwira Jepang itu adalah hukuman Harakiri. Setiap perwira atau serdadu yang dinilai gagal total, kepadanya diberi ”kehormatan” untuk bunuh diri. Dia tak menginginkan hal itu terjadi. Itulah sebabnya dia memerintahkan untuk menutup berita pembantaian itu serapat mungkin.
Para tentara serta perempuan yang diperintahkan untuk tutup mulut itu memang melaksanakan tugas mereka dengan baik. Sebab bila membocorkan rahasia, mereka akan berhadapan dengan regu tembak. Mereka tahu, setiap orang yang ada di sekeliling mereka bisa saja menjelma jadi mata-mata Kempetai. Mereka tak dapat mempercayai seorangpun. Baik orang Cina maupun orang Melayu. Mereka bisa saja jadi mata-mata Jepang. Babah gemuk itu dan Baribeh serta si Juling menjadi contoh jelas tentang itu. Betapa Cina dan anak Minang sendiri rela menjadi mata-mata bagi penjajah negerinya.
Buat sementara, si Bungsu aman. Sekurang-kurangnya tak begitu banyak tentara Jepang yang mengetahui, bahwa saat ini ada seorang anak Minang yang berkeliaran dengan samurai maut di tangannya. Yang telah membantai puluhan orang tentara Jepang dalam tahun ini. Namun perbuatan Mayor Sin Ichi Eraito, komandan tentara Jepang di Payakumbuh itu, yang menyembunyikan kematian anak buahnya pada Kolonel Fujiyama di Bukittinggi, yaitu Komandan Tertinggi Balatentara Jepang di Sumatera hanya bertahan beberapa bulan.
Terbongkarnya kematian itu bermula dari surat-surat tugas dari Markas Besar Tentara Jepang di Bukittinggi. Ada beberapa perwira yang ditarik ke Bukittinggi dari Payakumbuh. Nah diantara yang ditarik itu ada yang mati di tangan si Bungsu. Semula masih akan ditutupi dengan menyebutkan bahwa perwira itu sakit keras, dan tengah dirawat. Beberapa hari kemudian dilaporkan perwira itu mati karena penyakitnya.
Ya. Untuk sementara peristiwa itu tak tercium. Tapi kemudian ada lagi perintah untuk kenaikan pangkat bagi dua orang perwira. Dan kedua perwira itu diharuskan melapor ke Markas Besar di Bukittinggi. Kembali Eraito memberi jawaban bahwa kedua perwira itu sakit. Kecurigaan mulai timbul di Markas Besar. Eraito meminta waktu agak sepekan untuk merawat perwira itu, kemudian mengirimkannya untuk upacara kenaikan pangkat di Bukittinggi.
Eraito berharap, waktu seminggu itu cukup baginya untuk alasan bahwa kedua perwira itu mati dalam perawatan. Dan kematiannya karena minum racun sebelum masuk rumah sakit. Penguburan seperti biasa bisa dilakukan sendiri tanpa dihadiri Kolonel Fujiyama. Sebab sudah biasa kematian amat banyak dalam pertempuran seperti tahun-tahun dalam amukan perang dunia ke II ini. Begitulah harapan Eraito. Kolonel Fujiyama belum mencium siasat ini. Namun Perwira Intelijen bawahan Fujiyama mencium sesuatu yang tak beres dalam laporan Eraito. Perwira Intelijen itu adalah Chu Sha (Letnan Kolonel) Fugirawa. Diam-diam Chu Sha ini mengirim dua orang Intelijennya ke Payakumbuh dihari diterimanya laporan Eraito.
Kedua mata-mata itu langsung menuju rumah sakit. Memeriksa daftar pasien. Mereka tak menemui nama kedua perwira itu di sana. Mereka kemudian memeriksa markas dan daftar nama pada pos-pos komando di seluruh Luhak 50 Kota. Ternyata nama kedua perwira itu, dan beberapa nama lainnya, termasuk prajurit-prajurit Kempetai beberapa orang, telah lenyap. Kedua Intelijen ini menghentikan penyelidikannya. Langsung ke Bukittinggi dan melapor pada Chu Sha Fugirawa. Letnan Kolonel Kepala Intelijen ini memberi laporan dan analisa staf pada Fujiyama. Fujiyama segera pula mencium sesuatu yang tak beres dalam laporan Eraito. Dia menulis surat pada Eraito, agar segera datang melapor ke Markas Besar. Dia harus datang bersama kedua perwira yang dia laporkan sakit. Bila keduanya sudah mati, maka dia harus datang bersama mayatnya.
Eraito menerima surat itu. Apa yang harus dia perbuat? Kedua perwira itu telah mati beberapa bulan yang lalu di tempat pelacuran di Lundang. Mati dibabat samurai orang tak dikenal. Akan datangkah dia ke Bukittinggi dengan terlebih dahulu menggali kuburan kedua perwira itu dan membawa mayatnya yang sudah busuk? Akhirnya dia membuka bungkusan kedua yang dikirim oleh Kolonel Fujiyama. Bungkusan itu berwarna kuning. Di dalamnya ada benda panjang dua jengkal berbungkus bendera Jepang bergambar matahari. Dia buka bungkusan bendera itu. Benda sepanjang dua jengkal itu persis seperti yang dia duga, samurai pendek! Dia mengangguk pada tiga orang Kapten yang membawa surat perintah itu. Ketiga Kapten itu memberi hormat padanya.
Eraito melilitkan bendera itu kekepalanya. Kemudian memberi hormat kearah matahari terbit. Ke arah kerajaan Kaisar Tenno Haika. Lalu dia duduk berlutut di lantai. Ketiga Kapten yang dikirim dari Bukit Tinggi itu juga berlutut.
”Tai-I Sambu .. ” Eraito memanggil. Yang dipanggil, seorang Tai-I (Kapten) masuk memberi hormat. Dia terkejut melihat keempat orang yang berlutut. Ketika matanya terpandang pada bendera yang melilit kepala komandannya, kemudian pada samurai di depan Eraito, Kapten itu segera sadar apa yang akan terjadi. Dia mengangguk memberi hormat. Kemudian duduk di hadapan komandannya.
”Setelah tugas saya selesai, serahkan seluruh berkas perkara kematian itu pada mereka ..” Eraito berkata.
”Hai ..!!” perwira itu mengangguk dalam-dalam.
Kemudian Eraito mengambil samurai itu. Membukanya. Mulutnya komat kamit. Kemudian menghujamkan samurai itu keperutnya. Dengan tekanan yang kukuh, samurai yang alangkah tajamnya itu, dia iriskan kekiri. Darah membersit. Dia masih berlutut dengan nafas terengah. Kemudian jatuh. Kepalanya mencecah lantai. Dia seperti orang Islam yang sujud kelantai. Dan perwira ini mati dalam keadaan begitu. Dia telah melakukan Seppuku, yang juga disebut Harakiri. Segera setelah dia mati, Kapten wakilnya itu menyerahkan laporan berkas kematian perwira-perwira itu pada ketiga Kapten utusan Fujiyama. Berkas perkara itu disampulnya. Tak seorangpun yang berhak membacanya, kecuali Kolonel Fujiyama. Bahkan Letkol Fugirawa sendiripun, kendati jabatannya Kepala Intelijen, tetap tak berhak membaca laporan itu. Berkas itu dibawa ke Bukittinggi. Fujiyama membacanya dengan teliti. Laporan itu antara lain berisi:
”Ada seorang anak Minang yang berkeliaran dengan samurai maut di tangannya. Anak muda ini entah dari siapa belajar samurai, ilmu samurainya meskipun ngawur, namun amat tinggi. Diduga dia mencari seseorang untuk membalas dendam atas keluarganya. Mungkin yang dia cari adalah Tai-I Saburo, yang dulu menjabat sebagai Cho (Komandan Peleton) Kempetai di Payakumbuh.
Saburo memang terkenal terlalu ganas di Payakumbuh. Itulah sebabnya dahulu dia diusulkan untuk pindah dari kota kecil ini. Kini ada yang menuntut balas kekejamannya. Diduga lebih dari dua puluh orang tentara Jepang, perwira dan prajurit, telah mati dimakan samurai anak Minang itu.
Tapi rahasia ini dipegang teguh, penyelidikan tetap dijalankan. Usaha mencari dan membekuk anak muda yang kabarnya bernama si Bungsu (anak paling kecil) dari Dusun Situjuh Ladang laweh itu tetap diusahakan dengan ketat. Namun sampai saat ini anak muda itu tak pernah bersua. Dia lenyap seperti burung elang yang terbang ke kaki langit. Semoga dengan restu Tenno Haika, demi kejayaannya, anak muda itu segera dapat ditangkap.”
Demikian bunyi dan akhir dari laporan Mayor Eraito yang berkedudukan sebagai Bu Tei Cho (Komandan Batalyon) balatentara Jepang di Payakumbuh. Dalam laporan itu dilampirkan nama-nama yang diduga mati di tangan si Bungsu. Kolonel Fujuyama menarik nafas dan menutup laporan itu. Eraito telah menjalankan tugasnya dengan baik. Menutup rahasia itu rapat-rapat. Tapi dia memang harus mati, karena di puncak hidungnya sendiri anak buahnya banyak yang mati. Mati bukan dalam pertempuran. Hukuman bagi komandannya adalah tembak mati atau Harakiri. Eraito memilih yang kedua. Laporan itu dimasukkan ke dalam penyimpanan dokumen paling rahasia oleh Kolonel Fujiyama.
Kolonel Fujiyama terkenal sebagai seorang Perwira Senior yang kukuh pada tradisi Militer Jepang yang amat konvensional. Baginya, seorang tentara adalah seorang tentara. Seorang tentara berperang untuk negaranya. Bukan untuk diri pribadi.
Seorang tentara hanya bermusuhan dengan tentara dari negara yang melawan negara Jepang. Lawan tentara Jepang hanyalah tentara negara tersebut, atau mata-mata dari tentara yang berasal dari orang sipil. Seorang tentara Kerajaan Tenno Haika tak layak melakukan kekejaman pada rakyat sipil. Kolonel ini terkenal sekali dengan sikap yang demikian. Dia adalah pemeluk agama Budha yang taat.
Sebagai Dai Tai Cho, Komandan Divisi dan Komandan balatentara Jepang di Pulau Sumatera, dia berhak mengambil putusan-putusan yang amat prinsipil. Dan itulah yang dia lakukan. Yaitu dengan menyuruh Eraito, seorang mayor yang gagal untuk Harakiri. Kini dia mengambil langkah kedua dalam urusan peristiwa si Bungsu ini. Dia memerintahkan pada Saburo yang saat itu sudah berpangkat Syo Sha (Mayor) dan menjabat sebagai Bu Tei Cho (Komandan Batalyon) di Batu Sangkar, untuk datang menghadapnya di Markas Besar. Saat Saburo Matsuyama datang dia dipaksa oleh Fujiyama untuk minta pensiun. Kemudian dipaksa untuk pulang ke Jepang. Putusan ini mengejutkan perwira-perwira Jepang. Sebab Saburo dikenal sebagai perwira yang cekatan. Namun itulah putusan Fujiyama.
”Saya punya keyakinan, kalau engkau masih di negeri ini, engkau akan bertemu dengan anak muda bersamurai yang bernama si Bungsu itu. Dan kalau kalian bertemu, perkelahian tak terhindarkan. Saya tak dapat menerka bagaimana cara anak itu berkelahi, tapi saya punya firasat, engkau akan mati di tangannya. Karena itu pulanglah kekampungmu Syo Sha. Di sana engkau akan aman. Aman dari perbuatan memperkosa anak bini orang. Namun saya merasa pasti anak muda ini akan tetap mengejarmu kemanapun engkau pergi ..”
Begitu Kolonel Fujiyama berkata pada Saburo, Saburo termenung.
”Apakah engkau punya anak?”
”Ada Kolonel ..”
”Berapa orang?”
”Seorang, dan perempuan ..”
”Dimana dia kini?”
”Di Nagoya. Baru berumur enam belas ..”
”Dalam agama ada ajaran, bahwa setiap orang akan menerima balasan dari perbuatannya. Saya khawatir, suatu saat anakmu ketemu dengan anak muda ini. Dan kalau dia membalas dendam padanya, dapat kau bayangkan apa yang akan terjadi Saburo? Saya tak menakut-nakutimu. Tapi berdoalah, agar anak muda itu melupakan. Nah selamat jalan..!”
Kata-kata ini masih terngiang di telinga Saburo dalam perjalanannya ke Singapura untuk terus pulang ke Jepang. Anaknya seorang gadis yang amat cantik. Yang telah kematian ibu ketika anak itu masih berumur sepuluh tahun. Dia terbayang pada pembunuhan yang dia lakukan di Situjuh Ladang Laweh. Pada gadis yang dia perkosa di rumah adat itu. Pada ayah dan ibunya yang dia bunuh. Pada pembunuhan gadis itu sendiri setelah dia perkosa. Dan pada anak lelakinya yang pengecut. Kini ternyata anak lelakinya itu memburunya dengan samurai di tangan. Dengan Samurai. Ya Tuhan, tiba-tiba Saburo Matsuyama tertegak. Seluruh bulu tubuhnya pada merinding. Anak muda itu mencarinya dengan samurai.
Dan menurut cerita Fujiyama, anak muda itu amat lihai dan tangguh mempergunakan samurainya. Dia segera teringat pada sumpah Datuk Berbangsa sesaat sebelum mati dulu. Saat itu sebuah samurai menancap di dada Datuk itu.
”Saya akan menuntut balas atas perbuatanmu ini Saburo. Engkau takkan selamat. Saya bersumpah untuk membunuhmu dengan samurai dari negerimu sendiri. Kau ingat itu baik–baik..”
Suara itu seperti bergema. Lelaki Minangkabau itu ternyata memang memburunya melalui anak kandungnya. Dulu dia menganggap hal-hal mistis ini sebagai nonsens. Tapi kini anak muda itu mencarinya dengan samurai. Bukankah itu merupakan suatu perwujudan dari sumpah Datuk itu? Saburo mulai seperti dikejar bayang-bayang. Dia banyak mendengar tentang kesaktian orang-orang Minangkabau. Namun selama dia di negeri itu, tak satupun di antara kesaktian itu yang terbukti. Kabarnya orang Minang bisa membuat orang lain jadi gila, senewen memanjat-manjat dinding, namanya sijundai. Tapi dia dan pasukannya yang telah terlalu banyak berbuat maksiat di negeri itu, kenapa tak satupun di antara kesaktian itu yang mempan pada mereka?
Kabarnya ada pula semacam senjata rahasia yang berbahaya. Yang bisa membunuh orang dari jarak jauh. Konon bernama Gayung, Tinggam atau Permayo. Tapi kenapa tak satupun di antara pasukan Jepang yang terkena senjata rahasia itu? Ataukah hanya mempan untuk sesama orang Minang saja? Saburo termasuk orang praktis yang tak mempercayai segala macam bentuk mistik. Tapi kali ini, terhadap sumpah Datuk Berbangsa yang telah mati lebih dari dua tahun yang lalu, kenapa dia harus takut? Dia ingin segera pulang ke kampungnya di Jepang sana. Dia ingin bersenang-senang barang sebulan dua di Singapura. Demikian putusan yang dia ambil dalam kapal ketika berlayar dari Dumai ke Singapura.